Senin, 14 Maret 2011

Nuansa 3 Pelangi (bagian 5)

Chapter II
Petualangan Pertama di Rimba Kota
Pukul 04.25 wib adzan berkumandang di masjid ini. Adzan ini membangunkan aku dan belasan orang yang tidur disitu. Di sampingku aku lihat Barzu sudah tidak ada ditempatnya. Aku menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari dia namun aku tidak menemukannya. Aku takut terjadi sesuatu dengannya. Akhirnya aku bangun dan mencarinya ke toilet, kamar mandi dan tempat wudhu ternyata nihil. Setelah itu aku pun berpikir mungkin dia pergi ke suatu tempat tadi malam dan tidak tega membangunkan aku untuk sekedar berpamitan. Akhirnya akupun menuju ke kamar mandi, membersihkan diriku dan berwudhu. Setelah itu aku melangkahkan kaki menuju ke masjid, dan samar-samar aku melihat sosok tegak yang ada di pojok masjid. Ternyata itu adalah Barzu, sebelum adzan subuh dia telah terbangun dan melakukan shalat malam. Luar biasa memang anak ini, padahal dia baru tidur kurang dari 2 jam. Aku menjadi semakin kagum dengan dia.
Setelah shalat subuh aku menuju ke tempatnya dan berkata “apa yang akan kita lakukan hari ini?” dia menjawab “kita berusaha untuk mencari makan dahulu dengan cara yang halal dan mengenal daerah sekitar kita”. Akupun setuju, lalu saat itu juga kami bergegas dan mencari peluang yang dapat menghasilkan uang buat kami. Karena sejak tadi malam perut kami tidak kemasukan makanan sedikitpun.
Kamipun berpencar untuk mencari peluang usaha yang dapat dilakukan saat itu juga, dan kami setuju untuk berkumpul di masjid pada jam 7.30 pagi. Aku bergerak kearah bis-bis yang sedang terparkir dan Barzu kearah sebaliknya. Aku berkeliling di sekitar tempat parkir bis namun tidak menemukan ide apapun kecuali mengamen di bis. Mungkin menyanyi lagu daerah lebih menarik daripada menyanyi lagu kebangsaan pikirku, hehe.
Tepat pukul 7.30 aku telah sampai di masjid terminal dan aku tidak melihat ada Barzu disekitar masjid. Aku cari-cari sambil menoleh kearah kerumunan orang di ujung jalan, namun aku tidak menemukannya. Akhirnya aku memutuskan untuk mencarinya di tempat kerumunan penumpang turun, karena tadi pagi dia bergerak kearah itu. Belum sempat aku melangkahkan kaki, Barzu telah datang sambil membawa segebok Koran. Dia berkata kalau menjual Koran ini adalah hal yang paling mungkin untuk dilakukan saat ini. Tanpa modal dan mudah menjualnya. Tanpa pikir panjang akupun menerima ajakannya dan mulai menjual Koran-koran yang ada di tanganku. Barzu berkata kepadaku bahwa sebaiknya kita berpencar, dan kembali ke masjid pada saat adzan dhuhur. Akhirnya kamipun berpencar. Aku menjual Koran ke para calon penumpang bis yang baru masuk terminal. Aku berkeliling sambil sedikit berteriak “koran….koran” di setiap tempat dan di setiap sudut yang aku datangi. Namun hingga mendekati dhuhur tiba baru 7 eksemplar yang terjual. Aku pun keluar dari bangunan terminal yang menjajakan di dekat tempat bis menurunkan penumpang. Hasilnya pun tidak lebih baik. Karena badanku terasa panas, perutku perih karena lapar mendera dan letih tak terkira, akupun beristirahat sejenak di pagar pembatas dekat masjid. Dalam hati aku berkata “andaikan sekarang aku di rumah, mungkin nasibku lebih baik dari ini. Mungkin aku hanya akan ke sawah membantu ayah, atau mungkin membantu ibu mencuci di tempat kerjanya atau malah aku ada di rumah membersihkan rumah sambil mendengarkan siaran radio favoritku.” Lagi-lagi pikiran yang melemahkan ku datang, aku harus mengusirnya sebelum pikiran itu merebut mimpi-mimpiku.
Belum selesai aku beristirahat, ada 2 orang yang menuju ke arahku dan berkata kasar kepadaku “hei kamu….ini daerah kita, kamu harus bayar kalau mau jualan disini” akupun kaget dan menjawab “maaf mas, saya disini cuma berjualan, saya hanya sebentar saja disini, hanya untuk mencari uang sekadarnya. Setelah itu saya akan pergi ke tempat lain” salah satu dari mereka berkata “oke kalau begitu, tapi serahkan uang hasil berjualan kamu hari ini, bayar Rp 500; per koran yang terjual” akupun berkata, “maaf mas, ini uang saya sendiri, saya mendapatkannya dengan cara halal, dan saya tidak akan menyerahkannya” lalu tanpa basa basi kedua orang itu menyerangku. Mereka menghantam pipi kiriku dengan kepalan tangannya yang besar. Yang satu lagi menghantam perutku sebelah kanan. Lalu salah satu dari mereka menendang perutku hingga aku terjatuh ke tanah. Koran-koran yang aku bawa berserakan, bahkan sebagian telah rusak karena aku pakai untuk menangkis serangan mereka. Belum puas, merekapun menginjak-injak Koran-koranku hingga rusak semuanya. Ketika mereka akan menginjak lagi perutku, ada bunyi peluit dari petugas keamanan terminal. Mereka melarikan diri saat itu juga. Kedua orang itupun berlari tak tentu arah. Aku yang masih kesakitan hanya bisa duduk dan menahan perih di pipi dan di perutku. Aku melihat perutku terdapat luka lebam kemerah-merahan dan di hidungku juga mengeluarkan sedikit darah. Aku hanya bisa pasrah dengan kondisiku saat itu. Aku hanya duduk terdiam sambil menahan perih ketika petugas keamanan terminal datang menghampiri aku. Salah satu dari mereka berkata “disini dilarang berkelahi.. Ayo ikut ke kantor” dengan perasaan pasrah akupun digiring oleh petugas patroli ke kantor mereka dengan terlebih dahulu mengais sisa-sisa Koran yang masih lumayan bagus. Di kantor tersebut aku ditanya berbagai hal, dari nama, alamat rumah, umur, alasan berkelahi dan sebagainya. Dengan jujur aku menjawab semua pertanyaan mereka tanpa aku tutup-tutupi sedikitpun. Mungkin karena kasihan dengan kondisiku saat itu mereka akhirnya melepaskanku setelah mereka menulis lengkap berbagai hal tentang diriku.
Adzan dhuhur telah usai 30 menit yang lalu, sholat dhuhur berjamaah juga telah usai. Terhuyung-huyung aku berjalan kearah masjid. Di jalan sekitar masjid aku masih melihat sisa-sisa Koran berserakan, semua Koran itu sudah rusak dan tidak mungkin agen Koran mau menerima Koran rusak itu. Akupun pasrah dengan nasibku ini, aku tidak tahu harus mengganti dengan apa nanti. Setelah sampai masjid aku mengambil air wudhu, aku ingin segera sholat dan mengadu semua masalahku kepada yang Diatas. Aku ingin mengadu mengapa aku yang tidak bersalah bisa bernasib seperti ini, mengadu tentang ketidakadilannya dengan semua ini, mengadu tentang mimpi-mimpiku dan cobaan-cobaan yang begitu berat menghalanginya, dan mengadu supaya hari ini ada rezeki yang bisa dimakan. Tak terasa airmataku keluar waktu mengadu kepada-Nya, airmata kekecewaan, airmata kesengsaraan dan airmata kesedihan. Sungguh aku tidak pernah menyangka, hal seperti ini akan terjadi kepadaku.
Selesai mengadu, aku mengusap mataku yang basah dengan airmata. Airmataku cukup banyak kali ini. Sehingga orang di samping kanan-kiriku melihatku dengan wajah heran. Aku sudah tidak peduli dengan mereka, juga tidak peduli dengan keadaanku. Setelah selesai aku menemui Barzu yang dari tadi sudah menungguku di serambi masjid. Aku belum sempat bercerita tentang kejadian yang baru aku alami, namun Barzu memulai pembicaraan lebih dahulu. “Hari ini hampir semua koranku laku, aku tahu yang terjadi dengan kamu tadi siang. Setelah ini mari kita sama-sama menyetorkan hasil kita hari ini. Namun sebelumnya makanlah ini, mungkin ini bisa menahan lapar kita untuk sementara” Barzu mengeluarkan 2 buah roti lapis. Roti itu dia beli di warung kopi di pojokan pintu keluar terminal. Rasanya sungguh nikmat roti ini. Luar biasa nikmatnya. Aku bahkan tidak bisa menceritakan betapa nikmat roti ini, karena memang rotinya yang nikmat atau karena aku benar-benar lapar. Semua menjadi kabur. Aku bersyukur kepada Allah ada teman seperti Barzu yang dia tunjuk untuk menjadi penolongku.
Setelah selesai kami menghabiskan roti itu, kami pun menuju ke kios Koran yang mempercayakan korannya kepada kami. Dia lalu menghitung uang yang harus kami setorkan, dan kami harus menyetor Rp 60.000; sesuai dengan jumlah Koran yang kami ambil hari itu. Aku sempat bingung dengan keadaan ini. Karena uang hasil berjualan Koran yang aku dapat jauh dari jumlah itu. Akhirnya aku mengeluarkan cadangan uang mengamen di bis tadi malam, uang itu juga belum cukup. Akupun berniat untuk meminta maaf kepada pemilik dan berkata bahwa besok akan aku ganti dengan berjualan Koran lagi. Belum sempat aku berbicara Barzu sudah berbicara kepada pemilik kios bahwa setoran kami hari ini lunas dan dia berkata besok akan menjual Koran lagi. Ternyata Barzu membayarkan kekurangan setoranku dengan uang hasil berjualan korannya hari ini. Sungguh dia adalah teman yang sangat luar biasa. Beruntung aku bisa mengenal orang sebaik ini.
***

Nuansa 3 Pelangi (bagian 4)

Tidak terasa bis mulai meninggalkan kota Gresik dan masuk wilayah Kota Surabaya. Waktu telah menunjukkan pukul 23.30 wib, sudah ada beberapa penumpang yang terkantuk-kantuk di bangku mereka, bahkan sudah ada juga yang tertidur dan bersandar dengan orang di sampingnya yang tertidur pula. Suasana terasa agak senyap, namun kondektur dan sopirnya masih terjaga sambil mengobrol berdua untuk mengusir rasa kantuk yang mulai menyerang. Dan aku, masih bertahan disini di pintu belakang sambil bersandar di pipa besi pintu tidak merasakan kantuk sedikitpun karena pikiranku masih terjaga dan melayang membayangkan apa yang akan aku lakukan setelah ini, besok dan seterusnya untuk bertahan hidup. Pikiranku melayang-layang mencari mimpinya yang belum ketemu, melayang-layang mencari jati dirinya yang belum ketemu dan melayang-layang mencari arti hidup yang sebenarnya.
Tepat pukul 23.55 wib bis telah sampai di Terminal Purabaya Surabaya, terminal terakhir bis ini. Semua orang telah bangun dan bersiap-siap akan turun sambil memeriksa barang-barang bawaanya. Aku masih berdiri, tidak ada niat turun dari bis walaupun orang-orang lalu-lalang turun di depanku. Aku terdiam di bis karena aku bingung, pikiranku melayang tidak karuan karena membayangkan akan tidur dimana malam ini. Setelah penumpang bis tinggal beberapa orang, aku melihat di sudut bangku tengah ada seorang anak yang tidak beranjak juga dari tempat duduknya, dia menoleh ke kanan ke kiri tanpa tahu apa yang dipikirkan. Sepertinya dia bernasib sama seperti aku, baru datang ke Surabaya dan tidak tahu apa yang akan dilakukan. Setelah semua penumpang termasuk kondektur dan sopir telah turun, yang ada di dalam bis itu tinggal aku dan anak laki-laki tadi. Dia memandang wajahku dari kejauhan dengan wajah tanda tanya dan akupun memandang wajahnya. Dia tersenyum akupun ikut tersenyum. Akhirnya aku menuju ke bangkunya, aku mengulurkan tangan dan berkata “Hai, aku Syakir. Senang berkenalan denganmu” diapun menjawab dengan suara sedikit serak “Hai juga, aku Barzu. Senang berkenalan denganmu juga”. Dari pembicaraan setelah perkenalan ini akhirnya aku tahu kalau Barzu berasal dari kota Solo, dia adalah anak tunggal sekaligus yatim piatu, ayahnya meninggal 2 tahun yang lalu karena kanker dan ibunya baru meninggal 1 bulan yang lalu karena kecelakaan sewaktu pulang kerja. Akhirnya dia dititipkan ke pamannya yang rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Paman ini adalah Adik dari ayahnya. Pamannya sangat baik kepadanya, dia diumpamakan anaknya sendiri karena pamannya memang belum mendapat anak setelah 3 tahun menikah. Dan pamannya sangat suka kepadanya karena Barzu adalah anak yang rajin, Barzu sering mencuci baju keluarga pamannya, mengepel rumah, membersihkan rumah dan sebagainya. Sebenarnya hal itu tidak masalah bagi dia, karena bagi dia itu hal yang wajar karena dia statusnya menumpang di rumah pamannya, namun yang dia pikirkan adalah masa depan dia. Akan menjadi seperti apa dia kalau seterusnya seperti ini. Akhirnya dia memberanikan diri untuk meminta ijin pergi dari rumah setelah 1 bulan tinggal bersama pamannya, awalnya pamannya tidak setuju karena masa depannya menjadi sangat tidak pasti diluar sana. Namun setelah pembicaraan yang cukup panjang akhirnya pamannya mengijinkan dia meninggalkan rumah. Dan pamannya berpesan kalau nanti seumpama ingin kembali ke rumah maka jangan sungkan-sungkan untuk kembali. Dan Barzu pun mengatakan dalam hati saya berusaha tidak akan kembali sebelum saya berhasil.
Dari pembicaraan dengan dia, aku sadar Barzu adalah anak yang memiliki keistimewaan. Tingginya sekitar 170 cm, berbadan tegap seperti tentara, kalau berbicara seperti seorang komandan sedang memimpin pasukan, sangat berwibawa dan tegas, namun umurnya baru 17 tahun, 1 tahun lebih muda dari aku. Aku berpikir mungkin keadaan dan segala cobaan yang menderanya yang membuat dia jadi seperti ini. Bahkan dia masih bisa tertawa lepas ketika ada sesuatu yang lucu. Benar-benar anak yang luar biasa, seperti orang yang tidak punya beban hidup, padahal dia sudah tidak punya orang tua yang akan selalu merindukannya, tidak punya apa-apa yang dapat dibanggakan dan tidak punya saudara kandung yang dapat membantunya dalam kesulitan. Dia tidak punya apa-apa, tidak punya siapa-siapa, yang dia punya hanya keyakinan di dalam dirinya sendiri. Keyakinan bahwa semua pasti ada jalan bagaimanapun terjalnya tujuan itu. Keyakinan yang kuat yang membakar hatinya untuk selalu tegar dengan segala cobaan yang menerpa. Keyakinan yang selalu membakar semangatnya untuk terus berjuang meraih cita-citanya.
Malam itu kami bercerita banyak hingga lewat jam 02.00 wib, akhirnya kamipun memilih tidur beralas lantai yang dingin di serambi masjid yang ada di Terminal Purabaya bersama dengan belasan orang lainnya yang sudah tertidur. Malam ini aku akan tidur ditemani bintang-bintang. Bintang-bintang seakan bernyanyi kepadaku, bernyanyi tentang indahnya malam ini, bernyanyi kepada bulan yang bersinar terang dan bernyanyi kepada bumi agar menjaga aku dalam tidurku.