Tidak terasa bis mulai meninggalkan kota Gresik dan masuk wilayah Kota Surabaya. Waktu telah menunjukkan pukul 23.30 wib, sudah ada beberapa penumpang yang terkantuk-kantuk di bangku mereka, bahkan sudah ada juga yang tertidur dan bersandar dengan orang di sampingnya yang tertidur pula. Suasana terasa agak senyap, namun kondektur dan sopirnya masih terjaga sambil mengobrol berdua untuk mengusir rasa kantuk yang mulai menyerang. Dan aku, masih bertahan disini di pintu belakang sambil bersandar di pipa besi pintu tidak merasakan kantuk sedikitpun karena pikiranku masih terjaga dan melayang membayangkan apa yang akan aku lakukan setelah ini, besok dan seterusnya untuk bertahan hidup. Pikiranku melayang-layang mencari mimpinya yang belum ketemu, melayang-layang mencari jati dirinya yang belum ketemu dan melayang-layang mencari arti hidup yang sebenarnya.
Tepat pukul 23.55 wib bis telah sampai di Terminal Purabaya Surabaya, terminal terakhir bis ini. Semua orang telah bangun dan bersiap-siap akan turun sambil memeriksa barang-barang bawaanya. Aku masih berdiri, tidak ada niat turun dari bis walaupun orang-orang lalu-lalang turun di depanku. Aku terdiam di bis karena aku bingung, pikiranku melayang tidak karuan karena membayangkan akan tidur dimana malam ini. Setelah penumpang bis tinggal beberapa orang, aku melihat di sudut bangku tengah ada seorang anak yang tidak beranjak juga dari tempat duduknya, dia menoleh ke kanan ke kiri tanpa tahu apa yang dipikirkan. Sepertinya dia bernasib sama seperti aku, baru datang ke Surabaya dan tidak tahu apa yang akan dilakukan. Setelah semua penumpang termasuk kondektur dan sopir telah turun, yang ada di dalam bis itu tinggal aku dan anak laki-laki tadi. Dia memandang wajahku dari kejauhan dengan wajah tanda tanya dan akupun memandang wajahnya. Dia tersenyum akupun ikut tersenyum. Akhirnya aku menuju ke bangkunya, aku mengulurkan tangan dan berkata “Hai, aku Syakir. Senang berkenalan denganmu” diapun menjawab dengan suara sedikit serak “Hai juga, aku Barzu. Senang berkenalan denganmu juga”. Dari pembicaraan setelah perkenalan ini akhirnya aku tahu kalau Barzu berasal dari kota Solo, dia adalah anak tunggal sekaligus yatim piatu, ayahnya meninggal 2 tahun yang lalu karena kanker dan ibunya baru meninggal 1 bulan yang lalu karena kecelakaan sewaktu pulang kerja. Akhirnya dia dititipkan ke pamannya yang rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Paman ini adalah Adik dari ayahnya. Pamannya sangat baik kepadanya, dia diumpamakan anaknya sendiri karena pamannya memang belum mendapat anak setelah 3 tahun menikah. Dan pamannya sangat suka kepadanya karena Barzu adalah anak yang rajin, Barzu sering mencuci baju keluarga pamannya, mengepel rumah, membersihkan rumah dan sebagainya. Sebenarnya hal itu tidak masalah bagi dia, karena bagi dia itu hal yang wajar karena dia statusnya menumpang di rumah pamannya, namun yang dia pikirkan adalah masa depan dia. Akan menjadi seperti apa dia kalau seterusnya seperti ini. Akhirnya dia memberanikan diri untuk meminta ijin pergi dari rumah setelah 1 bulan tinggal bersama pamannya, awalnya pamannya tidak setuju karena masa depannya menjadi sangat tidak pasti diluar sana. Namun setelah pembicaraan yang cukup panjang akhirnya pamannya mengijinkan dia meninggalkan rumah. Dan pamannya berpesan kalau nanti seumpama ingin kembali ke rumah maka jangan sungkan-sungkan untuk kembali. Dan Barzu pun mengatakan dalam hati saya berusaha tidak akan kembali sebelum saya berhasil.
Dari pembicaraan dengan dia, aku sadar Barzu adalah anak yang memiliki keistimewaan. Tingginya sekitar 170 cm, berbadan tegap seperti tentara, kalau berbicara seperti seorang komandan sedang memimpin pasukan, sangat berwibawa dan tegas, namun umurnya baru 17 tahun, 1 tahun lebih muda dari aku. Aku berpikir mungkin keadaan dan segala cobaan yang menderanya yang membuat dia jadi seperti ini. Bahkan dia masih bisa tertawa lepas ketika ada sesuatu yang lucu. Benar-benar anak yang luar biasa, seperti orang yang tidak punya beban hidup, padahal dia sudah tidak punya orang tua yang akan selalu merindukannya, tidak punya apa-apa yang dapat dibanggakan dan tidak punya saudara kandung yang dapat membantunya dalam kesulitan. Dia tidak punya apa-apa, tidak punya siapa-siapa, yang dia punya hanya keyakinan di dalam dirinya sendiri. Keyakinan bahwa semua pasti ada jalan bagaimanapun terjalnya tujuan itu. Keyakinan yang kuat yang membakar hatinya untuk selalu tegar dengan segala cobaan yang menerpa. Keyakinan yang selalu membakar semangatnya untuk terus berjuang meraih cita-citanya.
Malam itu kami bercerita banyak hingga lewat jam 02.00 wib, akhirnya kamipun memilih tidur beralas lantai yang dingin di serambi masjid yang ada di Terminal Purabaya bersama dengan belasan orang lainnya yang sudah tertidur. Malam ini aku akan tidur ditemani bintang-bintang. Bintang-bintang seakan bernyanyi kepadaku, bernyanyi tentang indahnya malam ini, bernyanyi kepada bulan yang bersinar terang dan bernyanyi kepada bumi agar menjaga aku dalam tidurku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Saya persilahkan Anda untuk meng-copy file yang ada di sini. Namun saya juga berharap Anda memberi komentar pada tulisan ini. Terimakasih