Jumat, 16 Januari 2009

Sistem Ijon Sama Dengan Riba

Al Quran sebagai pegangan hidup umat Islam telah mengatur kegiatan bisnis secara eksplisit, dan memandang bisnis sebagai sebuah pekerjaan yang menguntungkan dan menyenangkan, sehingga Al Quran sangat mendorong dan memotivasi umat Islam untuk melakukan transaksi bisnis dalam kehidupan mereka. Al Quran mengakui legitimasi bisnis, dan juga memaparkan prinsip-prinsip dan petunjuk-petunjuk dalam masalah bisnis antar individu maupun kelompok.
Al Quran mengakui hak individu dan kelompok untuk memiliki dan memindahkan suatu kekayaan secara bebas dan tanpa paksaan. Al Quran mengakui otoritas deligatif terhadap harta yang dimiliki secara legal oleh seorang individu atau kelompok. Al Quran memberikan kemerdekaan penuh untuk melakukan transaksi apa saja, sesuai dengan yang dikehendaki dengan batas-batas yang ditentukan oleh Syariah. Kekayaan dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat dan tindakan penggunaan harta orang lain dengan cara tidak halal atau tanpa izin dari pemilik yang sah merupakan hal yang dilarang. Oleh karena itu, penghormatan hak hidup, harta dan kehormatan merupakan kewajiban agama sebagaimana terungkap dalam Surah An Nisaa ayat 29.
Pengakuan Al Quran terhadap pemilikan harta benda, merupakan dasar legalitas seorang Muslim untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan harta miliknya, apakah dia akan menggunakan, menjual atau menukar harta miliknya dengan bentuk kekayaan yang lain. Al Quran memberikan kebebasan berbisnis secara sempurna, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Pembatasan dalam hal keuangan dan kontrol pertukaran juga dibebaskan, karena hal itu menyangkut kebebasan para pelaku bisnis. Kompetensi terbuka didasarkan pada hukum natural dan alami, yakni berdasarkan penawaran dan permintaan (supply dan demand).
Akan tetapi perlu diingat bahwa legalitas dan kebebasan di atas, jangan diartikan dapat menghapuskan semua larangan tata aturan dan norma yang ada di dalam kehidupan berbisnis. Seorang Muslim diwajibkan melaksanakan secara penuh dan ketat semua etika bisnis yang ditata oleh Al Quran pada saat melakukan semua transaksi, yakni:
1. Adanya ijab qabul (tawaran dan penerimaan) antara dua pihak yang melakukan transaksi;
2. Kepemilikan barang yang ditransaksikan itu benar dan sah
3. Komoditas yang ditransaksikan berbentuk harta yang bernilai
4. Harga yang ditetapkan merupakan harga yang potensial dan wajar
5. Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak saat jika mendapatkan kerusakan pada komoditas yang akan diperjualbelikan (Khiyar Ar-Ruyah)
6. Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak yang terjadi dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh kedua belah pihak (Khiyar Asy- Syarth)
Meskipun dalam melakukan transaksi bisnis, seorang Muslim harus juga memperhatikan keadilan sosial bagi masyarakat luas. Ajaran Al Quran yang menyangkut keadilan dalam bisnis dapat dikategorikan menjadi dua, yakni bersifat imperatif (perintah) dan berbentuk perlindungan.
Salah satu ajaran Al Quran yang paling penting dalam masalah pemenuhan janji dan kontrak adalah kewajiban menghormati semua kontrak dan janji, serta memenuhi semua kewajiban. Al Quran juga mengingatkan bahwa setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya dalam hal yang berkaitan dengan ikatan janji dan kontrak yang dilakukannya sebagaimana terdapat dalam Surah Al Isra ayat 34. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa Al Quran menginginkan keadilan terus ditegakkan dalam melakukan semua kesepakatan yang telah disetujui.
Kepercayaan konsumen memainkan peranan yang vital dalam perkembangan dan kemajuan bisnis. Itulah sebabnya mengapa semua pelaku bisnis besar melakukan segala daya upaya untuk membangun kepercayaan konsumen. Al Quran berulangkali menekankan perlunya hal tersebut, melalui ayat-ayat yang memerintahkan umat Islam untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan akurat, dan memperingatkan dengan keras siapa saja yang melakukan kecurangan akan mendapat konsekuensi yang pahit dan getir dari Allah SWT.

PENGERTIAN IJON
Menurut Faried Wijaya (1991), ijon, merupakan bentuk perkreditan informal yang berkembang di pedesaan. Transaksi ijon tidak seragam dan bervariasi, tetapi secara umum ijon adalah bentuk kredit uang yang dibayar kembali dengan hasil panenan. Ini merupakan “penggadaian” tanaman yang masih hijau, artinya belum siap waktunya untuk dipetik, dipanen atau dituai. Tingkat bunga kredit jika diperhitungkan pada waktu pengembalian akan sangat tinggi, antara 10 sampai dengan 40 persen. Umumnya pemberi kredit merangkap pedagang hasil panen yang menjadi pengembalian hutang.
Siklus peredaran modal dimulai pada setiap awal musim produksi tiap komoditas, misalnya ketika pohon Petai mulai berbunga, maka saat itu pula modal pinjaman dari tengkulak besar digelontorkan. Jika dalam waktu berdekatan terdapat lebih dari satu jenis komoditas yang mulai berbunga, misalnya sedang musim Duku, musim Melinjo, dan musim Pala berbunga, maka volume modal pinjaman yang beredar juga berlipat ganda. Di Kecamatan Somagede saja terdapat setidaknya 5 tengkulak besar yang menyalurkan pinjaman dan menampung pembelian komoditas Gula Kelapa, Kelapa,Pala, Cengkih, Melinjo.

MENGAPA PETANI LEBIH MENYUKAI SISTEM IJON ?
Petani meminjam uang dan mengijonkan tanamannya untuk kebutuhan konsumtif dan jangka pendek. Budaya konsumerisme yang merebak sampai pelosok pedesaan juga menjadi faktor pendorong maraknya sistem ijon. Dalam beberapa kasus, petani meminjam karena ada kebutuhan mendesak, dan tengkulak yang meminjamkan uang anggap sebagai penolong. Di daerah pedesaan, hubungan petani dan tengkulak pengijon memang sangat pribadi dan patronase. Antara petani dan tengkulak merasa sebagai satu keluarga yang saling tolong menolong, dan saling menjaga kepercayaan. Hal ini yang jeli dimanfaatkan pemodal besar dari luar daerah sehingga eksploitasi yang dilakukan tersamar dengan hubungan kekeluargaan dan saling tolong menolong. Petani sendiri merasa dirugikan tetapi juga diuntungkan. Mereka merasa rugi karena seharusnya dia bisa mendapatkan hasil lebih jika tanamannya tidak diijonkan, namun mereka merasa untung juga dengan adanya pengijon, karena jika ada kebutuhan mendesak, mereka akan cepat mendapatkan uang.
Prosedur pinjaman dengan sistem ijon memang mudah, luwes dan informal, tidak terikat waktu dan tempat. Hal ini yang menjadi daya tarik petani untuk memperoleh pinjaman dengan cepat dan praktis. Di Desa Kemawi contohnya, meskipun telah dibentuk Badan Kredit Desa (BKD) atas kerjasama Pemerintah Desa dan BRI Unit Somagede, ternyata kurang dimanfaatkan, alasannya terlalu rumit dan prosedural, walaupun mereka mengetahui hitung-hitungan ekonomisnya akan lebih menguntungkan. Jadi maraknya ijon bukan sekedar derasnya modal yang ingin mengeksploitasi petani, namun juga karena persoalan budaya dan sesat pikir masyarakat.
Tengkulak sebagai kreditor dan pembeli hasil produk pertanian mendapatkan keuntungan berlipat. Keuntungan tersebut didapat dari bunga dari pinjaman yang diberikan, dan keuntungan dari selisih harga beli di petani dengan harga jual di pasar konsumen. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tengkulak leluasa membeli hasil panen petani dengan rendah karena posisi tawar yang sangat kuat di hadapan petani. Walaupun harga akan bergerak sesuai tarik ulur permintaan dan penawaran barang, selisih keuntungan akan lebih banyak dinikmati tengkulak atau pengepul. Sebaliknya, petani akan dirugikan karena terbebani hutang dengan bunga pinjaman tinggi, serta dirugikan untuk mendapat kesempatan memperoleh harga yang layak bagi hasil panennya.
Upaya yang dilakukan untuk membebaskan petani dari jeratan ijon bukannya tidak dilakukan oleh pemerintah. Di setiap desa telah dibentuk Badan Kredit Desa dan inisiasi untuk membentuk koperasi pertanian sudah sering dilakukan. Namun jerat dan jaring sistem ijon ternyata sulit dipupuskan. Untuk mengurangi penderitaan petani dari sistem ijon, harusnya petani sendiri yang bangkit kesadarannya dan mulai merupah perilakunya. Hidup berhemat, menabung, memanfatkan fasilitas kredit yang diberikan pemerintah atau lembaga keuangan mikro lain, dan membentuk wadah bersama petani lain untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi produksi dan konsumsi. Sistem ijon merupakan permasalahan ekonomi pertanian yang sudah usang disebutkan di buku-buku pelajaran sejak sekolah dasar, dan ternyata hingga era kemajuan teknologi dan informasi, sistem ijon seakan menjadi bangunan tua, kokoh yang tak runtuh-runtuh.
Begitu lebarkah kesenjangan kesadaran dan pengetahuan masyarakat desa, begitu kuatkah mitos kekeluargaan dalam hubungan ekonomi antara petani dan tengkulak. Dahulu, petani mengijon karena memang tidak ada alternatif dalam pemasaran produk dan mendapat pinjaman. Namun setelah konteks sosiologis yang berubah, kondisi dan struktur ekonomi yang berubah, mengapa ijon masih menjadi pilihan padahal banyak alternatif tersedia bagi petani untuk tidak mengijon. Pembangunan infrastruktur pedesaan yang memudahkan distribusi barang dan jasa, akses informasi dan akses pasar yang cukup tersedia ternyata tidak merubah pilihan petani untuk mengijon.

ETIKA JUAL BELI DALAM ISLAM
Setidaknya ada enam etika jual beli (bisnis) dalam Islam yang diatur dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, antara lain adalah (1) Bahwa bisnis (jual beli) dilakukan atas dasar suka sama suka; (2) Bahwa ada hak untuk melakukan khiyar (pilihan untuk meneruskan atau membatalkan transaksi); (3) Menyempurnakan takaran dan timbangan; (4) Perjanjian (perikatan) dilakukan secara tertulis atau dengan dua orang saksi; (5) Larangan jual beli ijon; dan (6) Larangan menimbun.

BAI AS SALAM DAN IJON
BAI AS SALAM (Pesanan Barang dengan Pembayaran di Muka)
Bai as salam berarti pemesanan barang dengan persyaratan yang telah ditentukan dan diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan sebelum barang diterima.
Dalam transaksi Bai as Salam harus memenuhi 5 (lima) rukun yang mensyaratkan harus ada pembeli, penjual, modal (uang), barang, dan ucapan (sighot).
Bai as Salam berbeda dengan ijon, sebab pada ijon, barang yang dibeli tidak diukur dan ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan harga beli sangat tergantung kepada keputusan si tengkulak yang mempunyai posisi lebih kuat. Aplikasi Bai as Salam pada Lembaga Keuangan Syariah biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Lembaga Keuangan dapat menjual kembali barang yang dibeli kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, Pedagang Pasar Induk, atau Grosir. Penjualan kembali kepada pembeli kedua ini dikenal dengan istilah As Salam Paralel.

KESIMPULAN
Bahwa Islam memang dengan tegas mengharamkan praktek ini, karena tidak sesuai dengan akad jual beli yang mengaharuskan kita untuk mengetahui secara mendetail jenis barang yang akan kita perdagangkan.
Dalam system ini, juga sangat kental adanya unsur Riba, yang tentu saja sangat merugikan petani, karena walupun tengkulak telah membeli, biaya produksi tetap petani yang menanggung. Namun petani agaknya tidak terlalu resah akan hal ini selama mereka dapat mendapatkan uang dengan cepat dan prosedur yang mudah
Dalam Sistem ijon, baik petani maupun tengkulaknya juga belum mengetahui secara pasti hasil panen nantinya.hal ini berarti menyalahi Etika jual beli yang mana takaran atau ukuran barang yang diperjual belikan haruslah jelas.

SISTEM IJON = RIBA
Selama ini kebanyakan dari kita mengira bahwa riba semata mata hanyalah membungakan uang. Padahal pengertian riba jauh lebih luas daripada itu. Segala jenis transaksi yang membuat nilai tukar suatu barang terhadap barang lain atau alat tukar menjadi berlebih dan tidak sepatutnya, (unjustified increment of the value by its countervalue) termasuk dalam riba.
Membeli sesuatu yang tidak jelas bentuknya / belum ada. Alias IJON
adalah riba. Membeli anak sapi yang masih dalam kandungan, itu jelas
jelas riba. Dengan demikian, future trading atau bahasa kerennya bursa
komoditi adalah jelas jelas riba.

Pasarmuslim.Online. Minggu, 21 Oktober 2007, pukul 14.30
Tegalan,Magayuarsa Kadang Tani Pada Temen Anggarap Lahan, Minggu, 21 Oktober 2007
Hasan Ali, berbagai macam transaksi dalam islam,PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,2002

Jual Beli dalam Islam

Pendahuluan
Jual beli merupakan aktivitas rutin yang sering dilakukan oleh setiap orang hingga saat ini. Menurut sejarah, pada jaman sebelum mengenal tulisan aktivitas jual beli berasal dari aktivitas yang sangat sederhana yaitu dengan cara barter yaitu saling tukar menukar barang berdasarkan kebutuhan yang diperlukan. Namun seiring berjalannya waktu, orang mulai merasa kesulitan saat bertransaksi dengan sistem barter ini.
Salah satu kelemahan sistem barter adalah tidak mampunya cara transaksi ini untuk memenuhi kubutuhan manusia. Hal ini dikarenakan barang yang akan ditukarkan tidak sesuai dengan penawaran orang yang mau menukarkan barangnya. Untuk memperoleh barang yang dibutuhkan seseorang harus mencari dengan perjalanan yang tidak pendek, dan biasanya nilai barang yang ditawarkan dengan yang ditukarkan tidak seimbang. Dari beberapa kelemahan itu, manusia mulia berpikir untuk menciptakan suatu alat bisa mencerminkan nilai sutau barang, sehingga munculah transaksi jual beli yang kebih adil.
Seiring berjalannya waktu, kini jual beli tidak hanya dilakukan dengan cara tradisional, yang penjual dan pembeli harus bertemu secara langsung. Banyak media cetak maupun elektronik yang bisa mempermudah kita melakukan transaksi tanpa harus jauh-jauh ke tempat dimana penjual berada. Namun, semakin majunya teknologi dan pengetahuan manusia, orang-orang mulai melupakan hukum-hukum jual beli yang sah menurut agama. Sebelum munculnya hukum-hukum perdegangan Rasulullah SAW telah mengajarkan kita bagaimana menjadi seorang pedagang yang jujur dan adil. Karena sesungguhnya agama Islam telah memiliki hukum-hukum syariah mengatur segala aktivitas manusia termasuk jual beli. Dan sebagai orang yang beragama seharusnya kita bisa menaati apa yang telah diperintahkan Allah SWT dan menjauhi apa yang dilarang oleh agama dalam hal jual-beli.
Allah SWT telah menjadikan manusia masing-masing berhajat kepada yang lain, supaya mereka saling tolong-menolong, tukar menukar keperluan, dalam segala keperluan, dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, baik dengan jual beli, sewamenyewa, bercocok tanam, atau perusahaan lain, baik dalam urusan sendiri atau untuk kemaslahatan umum. Akan tetapi semua aktivitas itu tidak berjalan semulus yang kita pikirkan, manusia memiliki beberapa karakter yang bermacam-macam. Manusia memiliki sifat tamak dan loba, sifat yang suka memeintingkan diri sendiri. Supaya hak masing-masing individu tidak sia-sia dan juga supaya kemaslahatan umat terjaga, agar pertukaran berjalan dengan adil maka Islam memberikan peraturan yang sebaik-baiknya, karena dengan teraturnya muamalat, kehidupan manusia menjadi tentram dan tidak akan terjadi pertikaian dan dendam mendendam tidak terjadi.
Untuk lebih mengetahui hukum-hukum agama mengenai jual-beli, maka karya ini akan mencoba untuk 1. Pengertian Jual-Beli 2. Rukun dan Syarat sah jual beli berdasarkan empat mazhab, 3. objek jual-beli, 4. macam jual beli, dan terakhir 5. jual beli Fasid dan Batil.
Analisa karya ini berupa deskriptif yang menggunakan berbagai sumber. Berdasarkan pengkajian beberapa sumber ini diharapkan kita bisa mengetahui jual-beli yang baik bagi umat dan yang diperbolehkan agama Islam.

B. Pengertian Jual-Beli
Secara bahasa jual-beli berasal dari kata al-Ba’i dan al-syira’. Ba’i artinya menjual, dalam hal ini yang dimaksud menjual adalah mempertukarkan sesuatu dengan sesuatu. Sedangkan al-syira’ berarti membeli, namun al-ba’i itu sendiri telah mencakup pengertian al-syira’ (membeli). Sehinga al-ba’i sering diterjemahkan sebagai jual-beli.
Fuqaha Hanafiyah mendefinisikan istilah al-ba’i sebagai berikut :“ menukarkan harta dengan harta melalui tata cara tertentu, atau mempertukarkan sesuatu yang disenanginya dengan sesuatu yang lain melalui tata cara tertentu yang dapat dipahami sebagaial-ba’i, seperti ijab dan ta’athi“. Menurut Imam Nawawi dalam al-Majmu’ definisi al-ba’i :“mempertukarkan harta dengan harta untuk tujuan pemilikan“.
Al-ba’i menurut Ibn Qudamah yaitu mempertukarkan harta dengan harta tujuan pemilikan dan penyerahan milik. Dari beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa al-ba’i merupakan sebuah transaksi pertukaran harta antara dua orang atau lebih dengan tujuan pemilikan disertai dengan keikhlasan diantara keduanya.
Islam melihat konsep jual-beli sebagai suatu alat untuk menjadikan manusia semakin dewasa dalam pola pikirnya dan melakukan aktivitasnya, termasuk aktivitas ekonomi. Pasar sebagai tempat aktivitas jual-beli, dapat dijadikan tempat pelatiahan yang tepat bagi manusia sebagai khalifah di muka bumi. Sebanarnya jual eli merupakan tempat untuk memproduksi khafilah–khafilah yang tangguh di muka bumi (Muhammad Imaduddin).
Dalam Al-Quran Surat al Baqoroh ayat 275, Allah menegaskan bahwa:“...Allah menghalalkan jualbeli dan mengharamkan riba. Ada beberapa hal yang menarik dari ayat ini yaitu adanya pelarangan riba yang didahului oleh jualbeli. Jula beli merupakan aktivitas yang sangat produktif sehingga menghilangkan kesan mausia yang suka bermalas-malasan dan jual beli merupakan aktivitas yang dapat mencetak khalifah yang tangguh. Sedangkan orag-orang yang bergantung dengan riba yaitu merupakan orang-orang yang pemalas. Mereka bisa memperoleh uang tanpa harus berusaha dan bersusah payah memperolehnya sebab mereka telah memperoleh peghasilan dari penderitaan orang lain.
Allah SWT telah menjadikan manusia masing-masing berhajat kepada yang lain, supaya mereka saling tolong-menolong, tukar menukar keperluan, dalam segala keperluan, dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, baik dengan jual beli, sewamenyewa, bercocok tanam, atau perusahaan lain, baik dalam urusan sendiri atau untuk kemaslahatan umum. Nasehat Lukmanu al- Hakim,“Hai anakku! Berusahalah untuk menghilangkan kemiskinan dengan usaha yang halal itu, sesungguhnya orang yang berusaha dengan jalan yang hlala tidak akan mendapatkan kemiskinan, kecualai apabila dia telah dihinggapi tiga macam penyakit: 1. tipis kepercayaan agamanya, 2. lemah akalnya, 3. hilang kesopanannya.
Kita mengetahui bahwa jualbeli adalah bentuk dasar dari kegiatan ekonomi manusia. Pasar dapat timbul manakala adanya penjual yang menawarkan barang maupun jasa untuk dijual kepada pembeli. Dari aktivitas yang sangat sederhana tersebut lahirlah sebuah aktivita ekonomi yang kemudian berkembang menjadi suatu sistem perekonomian.

C. Rukun dan Syarat sah jual beli berdasarkan empat Mazhab
1. Fuqaha Hanafiyah :
Rukun jual beli adalah ijab dan qabul yang menunjuk pada saling menukarkan, atau dalam bentuk lain yang dapat menggantikannya. Sedangkan menurut jumhur fuqaha rukun jual beli ada empat :
a. penjual, b.pihak pembeli, c.shighat jualbeli, 4.obyek jualbeli.
Syarat jual-beli terdapat empat macam syarat yang harus terpenuhi : a. in’aqad, 2. shihhah, 3. nafadz, 4.luzum

2. Syarat jual-beli menurut Mazhab Malikiyah
Fuqaha Malikiyah merumuskan tiga macam syarat jualbeli: berkaitan dengan ‘aqid, sighat dan syarat obyek jual beli.
a. Syarat yang berkaitan dengan ‘aqid: a. mumayyiz, b. cakap hukum, c. berakal sehat, d. pemilik barang.
b. Syarat yang berkaitan dengan shigat: a. dilaksanakan dalam satu majlis, b. Antara ijab dan qabul tudak terputus.
c. Syarat yang berkaitan dengan obyeknya: tidak dilarang oleh syara’, b. suci, c. bermanfaat, d. diketahui oleh ‘aqid, e. dapat diserah terimakan.

3. Syarat jual-beli menurut Mazhab Syafi’iyah
Fuqaha Syafi’iyah merumuskan tiga hal syarat jual beli yaitu ‘aqid, ijab-qabul dan objek jual-beli.

4. Syarat jual-beli menurut Mazhab Hanabilah
Fuqaha Hanabilah merumuskan dua ketegori persyaratan: 1. ‘aqid, 2.shighat, 3. obyek jual-beli.

Menurut beberapa fiqih, secara umum Rukun jual beli:
1. penjual dan pembeli
Syarat keduanya:
a. berakal dan cakap bertindak hukum
b. dengan kehendak sendiri dan suka sama suka.
c. keadannya tidak pemboros karena harta orang yang mubadzir itu di tangan walinya.
d. Baliq.
2. Uang dan barang yang dibeli :
Syarat keduanya:
a. suci, barang yang diperjual belikan tidak boleh mengandung najis. Dari Jabir, Rasulullah SAW berkata :“sesungguhnya Allah dan Rasulnya telah mengharamkan menjaul arak dan bangkai, begitu juga babi berhala“(HR Bukhari Muslim).
b. ada manfaatnya, sebab menjual barang yang tidak ada manfaatnya masuk dalam arti menyia-nyiakan harta yang terlarang. Firman Allah SWT :“sesungguhnya orang-orang yang menyia-nyiakan harta itu seperti syaitan.
c. keadaan barang itu dapat diserah terimakan, tidak boleh menjual barang yang tidak bisa diserahkan, seperti ikan dalam laut, burung terbang,
d. barang milik sendiri atau kepunyaan yang diwakilinya.
e. barang itu dapat diketahui oleh si penjual dan si pembeli, dengan terang zat, bentuk dan kadar, serta sifat-sifatnya, sehingga tidak terjadi pertikaian diantaranya.

3. Ijab dan qabul
Ijab, perkataan penjual dan qabul perkataan pembeli. Lafaz jila beli harus memenuhi beberapa syarat:
a. keadaan ijab dan qabul berhubungan. Tidak putus komunikasi yang lama selama transaksi.
b. merupakan kata-kata yang bermakna mufakat.
c. tidak disangkutkan dengan urusan yang lain. Contoh :“aya akan jual barang ini kalau kamu mau menjual tanah mu kapada ku“.
d. tidak berwaktu, sebab jualbeli yang berwaktu seperti sebulan atau setahun tidak sah.



D. Objek Jual-Beli:
Objek jual beli ada 2, berdasarka Imam Hanafi dan Imam Syafi’i, yaitu mabi’, merupakan barang yang dijual dan tsaman yaitu harga. Mabi’ merupakan barang yang dapat dikenali melului jumlah kriteria tertentu. Tsaman merupakan harga sesuatu yang tidak dapat dikenalai tetapi mencerminkan nilai tertentu.
E. Macam Jual-Beli
1. barter : jual beli barang dengan barang yang lazim.
2. menjual barang dengan barang lain dengan tsaman.
3. Ba’i salam. Barang berupa dain (tanggungan) dan Tsaman bisa berupa ‚ain maupun dain. Namun harus diserahkan sebelum keduanya pisah.

F. Kesimpulan
Hukum jual beli diperbolehkan oleh agama, namun agama telah mengatur jual beli sedemikian rupa supaya tidak ada kecurangan didalamnya. Sehingga jual beli itu bisa melahirkan kemaslahan bagi umat. Maka dari itu setiap umat Islam harus mematuhi hukum Syariah dari jual beli.

G. Referensi
Mas’adi, A. Gufron. 2002, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT. Raja Graindo Persada.
Imaduddin, Muhammad. 2007, Jual Beli Dalam Pandangan Islam, dapat dilihat di www.PesantrenVirtual.co.id
Rasjid, Sulaiman. 1954, Fiqh Islam, Jakarta: Attahiriyah.

All About Reksadana Syariah

Di era globalisasi, masyarakat dihadapkan kepada realitas dunia yang serba cepat dan canggih. Tak terkecuali didalamnya masalah ekonomi dan keuangan. Produk-produk baru dikembangkan untuk menarik dana dari masyarakat. Salah satu produk yang telah berkembang pesat di Indonesia adalah reksa dana yang diluar negeri dikenal dengan ”Unit Trust” atau ”Mutual Fund”.
Sesuai dengan Undang-undang Pasar Modal no. 8 tahun 1995, pasal 1 ayat 27, reksa dana adalah suatu wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manager investasi yang telah mendapat izin dari Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal). Portofolio investasi dari reksa dana dapat terdiri dari berbagai macam instrumen surat berharga seperti saham, obligasi, instrumen pasar uang, atau campuran dari instrumen-instrumen diatas.
Reksa dana merupakan jalan keluar bagi para pemodal kecil yang ingin ikut serta dalam pasar modal dengan modal minimal yang relatif kecil dan kemampuan menanggung resiko yang sedikit. Reksa dana memiliki andil yang amat besar dalam perekonomian nasional karena dapat memobilisasi dana untuk pertumbuhan dan pengembangan perusahaan-perusahaan nasional, baik BUMN maupun swasta. Disisi lain, reksa dana memberikan keuntungan kepada masyarakat berupa keamanan dan keuntungan materi yang meningkatkan kesejahteraan material.
Secara umum, segala jenis kegiatan usaha dalam perspektif syariah islamiyyah, termasuk ke dalam kategori muamalah yang hukum asalnya mubah [boleh dilakukan] asalkan tidak melanggar beberapa prinsip pokok dalam syariat Islam. Hal ini sejalan dengan suatu kaidah yang masyhur di kalangan para ulama yang berbunyi: ”Hukum pokok dari muamalah adalah ibadah [boleh] kecuali apabila ada dalil yang mengharamkannya”.
Dalam reksa dana konvensional yang banyak ditawarkan oleh manajer investasi, berisi perjanjian yang dibolehkan dalam Islam, yaitu jual beli dan bagi hasil dan disana terdapat banyak tujuan seperti memajukan perekonomian, saling memberi keuntungan diantara para pelakunya meminimalkan resiko dalam pasar modal dan sebagainya.
Yang jadi pertanyaan adalah, hal-hal apa sajakah yang membedakan kegiatan investasi reksadana syariah dengan reksadana konvensional?

2.1 Pengertian Reksadana
Reksadana adalah suatu bentuk investasi yang mengarah langsung kepada jenis investasi untuk efek (surat berharga), tidak investasi langsung ke sektor riil (usaha). Jadi, investasi reksadana hanya diperkenankan pada produk keuangan seperti saham, obligasi, deposito, valuta asing, dan sebagainya.

2.2 Perbedaan Reksadana Syariah Dengan Reksdana Konvensional
Kegiatan reksa dana yang ada sekarang masih banyak mengandung unsur-unsur yang tidak sesuai dengan syariah Islam. Ada beberapa hal yang membedakan antara reksa dana konvensional dan reksa dana syariah.
Pada prinsipnya reksadana tidak bertentangan dengan syariat, karena menggunakan prinsip bagi hasil. Para pemodal masing-masing patungan dengan menyetorkan dana dan hasil investasinya juga dibagi kepada para pemodal sesuai dengan proporsi modal yang disetorkannya. Yang jadi masalah adalah kemana dananya diinvestasikan. Reksadana konvensional tentu saja hanya menggunakan pertimbangan tingkat keuntungan saja untuk mengatur portofolio investasi. Sedangkan, reksadana syariah juga harus mempertimbangkan kehalalan suatu produk keuangan selain tingkat keuntungannya.
Jika reksadana syariah membeli saham, maka saham yang dibeli harus perusahaan yang sudah dinyatakan sesuai syariat yang masuk ke dalam JII (Jakarta Islamic Index). Obligasi yang boleh dibeli pun hanya obligasi syariah saja. Begitu juga dengan deposito, hanya yang diterbitkan oleh bank syariah.
Selain itu, ada beberapa hal yang juga harus diperhatikan dalam investasi syariah ini.
1. Kelembagaan
Dalam syariah islam belum dikenal lembaga badan hukum seperti sekarang. Tapi lembaga badan hukum ini sebenarnya mencerminkan kepemilikan saham dari perusahaan yang secara syariah diakui. Namun demikian, dalam hal reksa dana syariah, keputusan tertinggi dalam hal keabsahan produk adalah Dewan Pengawas Syariah yang beranggotakan beberapa alim ulama dan ahli ekonomi syariah yang direkomendasikan oleh Dewan Pengawas Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Dengan begitu proses didalam akan terus diikuti perkembangannya agar tidak keluar dari jalur syariah yang menjadi prinsip investasinya.
2. Hubungan Investor Dengan Perusahaan
Akad antara investor dengan lembaga hendaknya dilakukan dengan sistem mudharabah. Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalain si pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Dalam hal transaksi jual beli, saham-saham dalam reksa dana syariah dapat diperjual belikan. Saham-saham dalam reksa dana syariah merupakan yang harta (mal) yang dibolehkan untuk diperjual belikan dalam syariah. Tidak adanya unsur penipuan (gharar) dalam transaksi saham karena nilai saham jelas. Harga saham terbentuk dengan adanya hukum supply and demand. Semua saham yang dikeluarkan reksa dana tercatat dalam administrasi yang rapih dan penyebutan harga harus dilakukan dengan jelas.
3. Kegiatan Investasi Reksa dana.
Dalam melakukan kegiatan investasi reksa dana syariah dapat melakukan apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan syariah. diantara investasi tidak halal yang tidak boleh dilakukan adalah investasi dalam bidang perjudian, pelacuran, pornografi, makanan dan minuman yang diharamkan, lembaga keuangan ribawi dan lain-lain yang ditentukan oleh Dewan Pengawas Syariah.
Dalam kaitannya dengan saham-saham yang diperjual belikan dibursa saham, BEJ sudah mengeluarkan daftar perusahaan yang tercantum dalam bursa yang sesuai dengan syariah Islam atau saham-saham yang tercatat di Jakarta Islamic Index (JII). Dimana saham-saham yang tercantum didalam indeks ini sudah ditentukan oleh Dewan Syariah.
Dalam melakukan transaksi Reksa dana Syariah tidak diperbolehkan melakukan tindakan spekulasi, yang didalamnya mengandung gharar seperti penawaran palsu dan tindakan spekulasi lainnya.

2.3 Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syari'ah
Berdasarkan fatwa Dewan Syari'ah Nasional no: 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang pelaksanaan investasi untuk reksa dana syari'ah

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Reksa Dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan kembali dalam portofolio efek oleh Manajer Investasi.
2. Portofolio Efek adalah kumpulan efek yang dimiliki secara bersama (kolektif) oleh para pemodal dalam Reksa Dana.
3. Manajer Investasi adalah pihak yang kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah.
4. Emiten adalah perusahaan yang menerbitkan Efek untuk ditawarkan kepada publik.
5. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek.
6. Reksa Dana Syari'ah adalah Reksa Dana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip Syari'ah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta (sahib al-vvvvhhhymal/ Rabb al Mal) dengan Manajer Investasi sebagai wakil shahib al-mal, maupun antara Manajer Investasi sebagai wakil shahib al-mal dengan pengguna investasi.
7. Mudharabah/qirad adalah suatu akad atau sistem di mana seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dikelola dengan ketentuan bahwa keuntungan yang diperoleh (dari hasil pengelolaan tersebut) dibagi antara kedua pihak, sesuai dengan syarat-syarat yang disepakati oleh kedua belah pihak, sedangkan kerugian ditanggung oleh shahib al-mal sepanjang tidak ada kelalaian dari mudharib.
8. Prospektus adalah setiap informasi tertulis sehubungan dengan Penawaran Umum dengan tujuan agar pihak lain membeli Efek.
9. Bank Kustodian adalah pihak yang kegiatan usahanya adalah memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima deviden, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.

BAB II
MEKANISME KEGIATAN REKSA DANA SYARI'AH
Pasal 2
1. Mekanisme operasional dalam Reksa Dana Syari'ah terdiri atas:
a. antara pemodal dengan Manajer Investasi dilakukan dengan sistem wakalah, dan
b. antara Manajer Investasi dan pengguna investasi dilakukan dengan sistem mudharabah.
2. Karakteristik sistem mudarabah adalah:
a. Pembagian keuntungan antara pemodal (sahib al-mal) yang diwakili oleh Manajer Investasi dan pengguna investasi berdasarkan pada proporsi yang telah disepakati kedua belah pihak melalui Manajer Investasi sebagai wakil dan tidak ada jaminan atas hasil investasi tertentu kepada pemodal.
b. Pemodal hanya menanggung resiko sebesar dana yang telah diberikan.
c. Manajer Investasi sebagai wakil tidak menanggung resiko kerugian atas investasi yang dilakukannya sepanjang bukan karena kelalaiannya (gross negligence/tafrith).

BAB III
HUBUNGAN, HAK, DAN KEWAJIBAN
Pasal 3
Hubungan dan Hak Pemodal
1. Akad antara Pemodal dengan Manajer Investasi dilakukan secara wakalah.
2. Dengan akad wakalah sebagaimana dimaksud ayat 1, pemodal memberikan mandat kepada Manajer Investasi untuk melaksanakan investasi bagi kepentingan Pemodal, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Prospektus.
3. Para pemodal secara kolektif mempunyai hak atas hasil investasi dalam Reksa Dana Syari'ah.
4. Pemodal menanggung risiko yang berkaitan dalam Reksa Dana Syari'ah.
5. Pemodal berhak untuk sewaktu-waktu menambah atau menarik kembali penyertaannya dalam Reksa Dana Syari'ah melalui Manajer Investasi.
6. Pemodal berhak atas bagi hasil investasi sampai saat ditariknya kembali penyertaan tersebut.
7. Pemodal yang telah memberikan dananya akan mendapatkan jaminan bahwa seluruh dananya akan disimpan, dijaga, dan diawasi oleh Bank Kustodian.
8. Pemodal akan mendapatkan bukti kepemilikan yang berupa Unit Penyertaan Reksa Dana Syariah.

Pasal 4
Hak dan Kewajiban Manajer Investasi dan Bank Kustodian
1. Manajer Investasi berkewajiban untuk melaksanakan investasi bagi kepentingan Pemodal, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Prospektus.
2. Bank Kustodian berkewajiban menyimpan, menjaga, dan mengawasi dana Pemodal dan menghitung Nilai Aktiva Bersih per-Unit Penyertaan dalam Reksa Dana Syari’ah untuk setiap hari bursa.
3. Atas pemberian jasa dalam pengelolaan investasi dan penyimpanan dana kolektif tersebut, Manajer Investasi dan Bank Kustodian berhak memperoleh imbal jasa yang dihitung atas persentase tertentu dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syari'ah.
4. Dalam hal Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian tidak melaksanakan amanat dari Pemodal sesuai dengan mandat yang diberikan atau Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian dianggap lalai (gross negligence/tafrith), maka Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian bertanggung jawab atas risiko yang ditimbulkannya.

Pasal 5
Tugas dan Kewajiban Manajer Investasi
Manajer Investasi berkewajiban untuk:
a. Mengelola portofolio investasi sesuai dengan kebijakan investasi yang tercantum dalam kontrak dan Prospektus;
b. Menyusun tata cara dan memastikan bahwa semua dana para calon pemegang Unit Penyertaan disampaikan kepada Bank Kustodian selambat-lambatnya pada akhir hari kerja berikutnya;
c. Melakukan pengembalian dana Unit Penyertaan; dan
d. Memelihara semua catatan penting yang berkaitan dengan laporan keuangan dan pengelolaan Reksa Dana sebagaimana ditetapkan oleh instansi yang berwenang.

Pasal 6
Tugas dan Kewajiban Bank Kustodian
Bank Kustodian berkewajiban untuk:
a. Memberikan pelayanan Penitipan Kolektif sehubungan dengan kekayaan Reksa Dana;
b. Menghitung nilai aktiva bersih dari Unit Penyertaan setiap hari bursa;
c. Membayar biaya-biaya yang berkaitan dengan Reksa Dana atas perintah Manajer Investasi;
d. Menyimpan catatan secara terpisah yang menunjukkan semua perubahan dalam jumlah Unit Penyertaan, jumlah Unit Penyertaan, serta nama, kewarganegaraan, alamat, dan indentitas lainnya dari para pemodal;
e. Mengurus penerbitan dan penebusan dari Unit Penyertaan sesuai dengan kontrak;
f. Memastikan bahwa Unit Penyertaan diterbitkan hanya atas penerimaan dana dari calon pemodal.

BAB IV
PEMILIHAN DAN PELAKSANAAN INVESTASI
Pasal 7
Jenis dan Instrumen Investasi
1. Investasi hanya dapat dilakukan pada instrumen keuangan yang sesuai dengan Syari'ah Islam.
2. Instrumen keuangan yang dimaksud ayat 1 meliputi:
a. Instrumen saham yang sudah melalui penawaran umum dan pembagian dividen didasarkan pada tingkat laba usaha;
b. Penempatan dalam deposito pada Bank Umum Syariah;
c. Surat hutang jangka panjang yang sesuai dengan prinsip Syari’ah;

Pasal 8
Jenis Usaha Emiten
1. Investasi hanya dapat dilakukan pada efek-efek yang diterbitkan oleh pihak (Emiten) yang jenis kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan Syari'ah Islam.
2. Jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan Syari'ah Islam, antara lain, adalah:
a. Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang;
b. Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional;
c. Usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman yang haram;
d. Usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan/atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.

Pasal 9
Jenis Transaksi yang Dilarang
1. Pemilihan dan pelaksanaan transaksi investasi harus dilaksanakan menurut prinsip kehati-hatian (prudential management/ihtiyath), serta tidak diperbolehkan melakukan spekulasi yang di dalamnya mengandung unsur gharar .
2. Tindakan yang dimaksud ayat 1 meliputi:
a. Najsy, yaitu melakukan penawaran palsu;
b. Bai al-Ma’dum yaitu melakukan penjualan atas barang yang belum dimiliki (short selling);
c. Insider trading yaitu menyebarluaskan informasi yang menyesatkan atau memakai informasi orang dalam untuk memperoleh keuntungan transaksi yang dilarang;
d. Melakukan investasi pada perusahaan yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) hutangnya lebih dominan dari modalnya.

Pasal 10
Kondisi Emiten yang Tidak Layak
Suatu Emiten tidak layak diinvestasikan oleh Reksa Dana Syariah:
a. apabila struktur hutang terhadap modal sangat bergantung kepada pembiayaan dari hutang yang pada intinya merupakan pembiayaan yang mengandung unsur riba;
b. apabila suatu emiten memiliki nisbah hutang terhadap modal lebih dari 82% (hutang 45%, modal 55 %);
c. apabila manajemen suatu perusahaan diketahui telah bertindak melanggar prinsip usaha yang Islami.


BAB V
PENENTUAN DAN PEMBAGIAN HASIL INVESTASI
Pasal 11
1. Hasil investasi yang diterima dalam harta bersama milik pemodal dalam Reksa Dana Syari'ah akan dibagikan secara proporsional kepada para pemodal.
2. Hasil investasi yang dibagikan harus bersih dari unsur non-halal, sehingga Manajer Investasi harus melakukan pemisahan bagian pendapatan yang mengandung unsur non-halal dari pendapatan yang diyakini halal (tafriq al-halal min al-haram).
3. Penghasilan investasi yang dapat diterima oleh Reksa Dana Syari'ah adalah:
a. Dari saham dapat berupa:
o Dividen yang merupakan bagi hasil atas keuntungan yang dibagikan dari laba yang dihasilkan emiten, baik dibayarkan dalam bentuk tunai maupun dalam bentuk saham.
o Rights yang merupakan hak untuk memesan efek lebih dahulu yang diberikan oleh emiten.
o Capital gain yang merupakan keuntungan yang diperoleh dari jual-beli saham di pasar modal.
b. Dari Obligasi yang sesuai dengan syari’ah dapat berupa:
o Bagi hasil yang diterima secara periodik dari laba emiten.
c. Dari Surat Berharga Pasar Uang yang sesuai dengan syari’ah dapat berupa:
o Bagi hasil yang diterima dari issuer.
d. Dari Deposito dapat berupa:
o Bagi hasil yang diterima dari bank-bank Syari'ah.
4. Perhitungan hasil investasi yang dapat diterima oleh Reksa Dana Syari'ah dan hasil investasi yang harus dipisahkan dilakukan oleh Bank Kustodian dan setidak-tidaknya setiap tiga bulan dilaporkan kepada Manajer Investasi untuk kemudian disampaikan kepada para pemodal dan Dewan Syari'ah Nasional.
5. Hasil investasi yang harus dipisahkan yang berasal dari non halal akan digunakan untuk kemaslahatan umat yang penggunaannya akan ditentukan kemudian oleh Dewan Syari'ah Nasional serta dilaporkan secara transparan.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
1. Hal-hal yang belum diatur dalam Pedoman Pelaksanaan ini akan diatur kemudian oleh Dewan Syari'ah Nasional.
2. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
3. Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 24 Muharram 1422 H / 18 April 2001 M


Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan diatas, maka ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dalam tulisan ini:
Pada prinsipnya reksadana tidak bertentangan dengan syariat, karena menggunakan prinsip bagi hasil. Para pemodal masing-masing patungan dengan menyetorkan dana dan hasil investasinya juga dibagi kepada para pemodal sesuai dengan proporsi modal yang disetorkannya. Yang jadi masalah adalah kemana dananya diinvestasikan. Reksadana konvensional tentu saja hanya menggunakan pertimbangan tingkat keuntungan saja untuk mengatur portofolio investasi. Sedangkan, reksadana syariah juga harus mempertimbangkan kehalalan suatu produk keuangan selain tingkat keuntungannya.
Jika reksadana syariah membeli saham, maka saham yang dibeli harus perusahaan yang sudah dinyatakan sesuai syariat yang masuk ke dalam JII (Jakarta Islamic Index). Obligasi yang boleh dibeli pun hanya obligasi syariah saja. Begitu juga dengan deposito, hanya yang diterbitkan oleh bank syariah.

Sukuk dan Pembangunan di Indonesia

Pendahuluan
Praktik gali lubang tutup lubang untuk membiayai pembangunan semakin membenamkan Indonesia dalam perangkap hutang. Padahal, selain harus berutang, ada alternatif sumber pendanaan lain yang bisa digunakan. Penerbitan obligasi negara berbasis syariah (sukuk), misalnya. Wacana penerbitan sukuk atau obligasi negara syariah sesungguhnya sudah beredar kencang sejak 2 tahun terakhir. Bahkan sudah banyak investor lokal maupun asing terutama dari negara Timur Tengah yang siap membeli surat berharga tersebut. Hampir bisa dipastikan, setiap tawaran investasi luar negeri yang datang selalu punya agenda politik yang merepotkan bangsa Indonesia. Padahal, investasi yang diharapkan adalah investasi yang memang murni bisnis tanpa ada titipan agenda-agenda politik, sehingga negara tetap bisa berjalan dengan agenda strategis sendiri untuk keberlangsungan pembangunan di Indonesia. Tapi apa mau dikata, pemerintah khususnya Departemen Keuangan, sepertinya masih enggan menanggapi keinginan para pemodal tadi. Padahal, surat berharga syariah bisa menjadi salah satu instrumen alternatif bagi pemerintah guna mendapatkan dana. Hal itu, membuat investor Timur Tengah tidak merasa nyaman menanamkan modalnya di Indonesia. Padahal, pasca penarikan modal besar-besaran yang dilakukan oleh negara-negara Timur Tengah dari Amerika akibat peristiwa WTC, peluang untuk menarik dana tersebut ke Indonesia terbuka lebar.
Sampai Juli 2006 lalu, total surat berharga syariah yang diterbitkan 17 emiten telah mencapai Rp 2,21 triliun alias tumbuh hampir 200% daripada 3 tahun lalu. Pada tahun ini, memang, ada kecenderungan direm. Sampai Juli kemarin, baru ada satu emiten yang menerbitkan sukuk dengan nilai Rp 200 miliar. Namun, kabarnya, sampai akhir tahun ada beberapa emiten yang berniat menerbitkannya. Di antaranya PLN dengan nilai US$ 1 miliar dan WOM Finance senilai Rp 300.000.000.000,00.

Definisi Obligasi Syariah (Sukuk)
Definisi Obligasi Syariah (Investment Sukuk) menurut AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution) adalah sertifikat dengan nilai yang setara yang merepresentasikan bagian kepemilikan yang tidak bisa terbagi-bagi (undivided shares in ownership) dari aktiva tetap (tangible assets), manfaat (usufructs) dan jasa dan kepemilikan atas proyek tertentu atau investasi khusus. Namun sukuk tersebut baru efektif apabila telah selesai proses penerbitan dan dana dari penerbitan sukuk tersebut telah digunakan untuk tujuan dari penerbitan sukuk tersebut. (Sharia Standard No. 17). Definisi Obligasi Syariah menurut Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) Fatwa No. 32/DSN-MUI/IX/2002: “Surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.(Ijtima’ Sanawi DPS Tahun 2007). Jadi, kalau disimpulkan, obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten (perusahaan penerbit obligasi) kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil / margin / fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.

Jenis – jenis Sukuk
Beberapa jenis obligasi syariah telah ada di Indonesia adalah sebagai berikut :
Obligasi Syariah mudharabah yaitu obligasi syariah yang hasil investasinya berdasarkan bagi hasil.
Obligasi Syariah ijarah yaitu obligasi yang dikeluarkan berdasarkan prinsip ijarah
Syarat sebuah obligasi disebut syariah adalah sebagai berikut :
1. Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain:
- Mudharabah (Muqaradhah) / Qiradh
- Musyarakah
- Murabahah
- Salam
- Istishna
- Ijarah
2. Jenis usaha yang dilakukan emiten (Mudharib) tidak boleh bertentangan dengan syariah,yaitu :
- Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang;
- Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional;
- Usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman yang haram;
- Usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan/atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.
3. Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten (Mudharib) kepada pemegang obligasi syariah Mudharabah (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non halal;
4. Pendapatan (hasil) yang diperoleh pemegang obligasi syariah sesuai akad yang digunakan;
5. Pemindahan kepemilikan obligasi syariah mengikuti akad-akad yang digunakan.
6. Pengawasan aspek syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah atau Tim Ahli Syariah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional MUI, sejak proses emisi Obligasi Syariah Ijarah dimulai.
7. Kepemilikan Obligasi Syariah Ijarah dapat dialihkan kepada pihak lain, selama disepakati dalam akad
Sukuk bukan merupakan Surat Hutang, tapi Sertifikat Investasi (Investment Certificate) atau Sukuk dengan ketentuan :
1. Menghindari riba. Hal ini berdasarkan hadist Nabi SAW, “Setiap pinjaman yang memberikan kelebihan adalah riba”.
2. ‫Obligasi Syariah dijamin oleh ‘dirinya sendiri’ karena setiap transaksi syariah harus ada underlying asset-nya.
3. Fleksible dalam pemasaran. Obligasi Syariah dapat dibeli oleh LK Konvensional namun tidak sebaliknya (Ijtima’ Sanawi DPS Tahun 2007)
Berbeda dengan obligasi konvensional yang merupakan surat utang (I Owe You)
dengan ketentuan :
1. Pembayaran atas kupon bunga secara periodik
2. Pembayaran pokok saat jatuh tempo

Landasan Hukum
Menurut perkembangan pencarian format landasan hukum penerbitan sukuk negara, sesungguhnya telah melalui proses panjang sejak 2003 ketika Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) menyuarakan penerbitan sukuk untuk menangkap peluang sekaligus mengembangkan perekonomian syariah. DSN-MUI pun melontarkan ide amandemen UU No 24/2002 tentang Surat Utang Negara, namun kandas. DSN-MUI kembali mengajukan usulan, yakni agar pemerintah menempuh jalan pintas dengan mengkonversi sebagian obligasi negara konvensional ke syariah. Tetapi, usulan tersebut belum dapat diterima. Hingga datang tawaran investasi melalui sukuk dari delegasi Dubai Islamic Bank (DIB) ketika berkunjung ke Indonesia akhir Maret lalu. Menurut DIB, investasi sukuk tersebut bisa digunakan untuk membiayai sejumlah proyek khususnya infrastruktur, seperti jalan tol, bandara, dan pelabuhan. Untuk mempercepat penerbitan sukuk, pemerintah membentuk tim kecil. Pertengahan April 2006, tim kecil melakukan konsinyering dengan Bank Indonesia (BI) dan DSN-MUI. Kesimpulannya, diperlukan landasan hukum penerbitan sukuk yang tidak bertentangan dengan UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan peraturan turunannya. Keberadaan Undang-Undang Sukuk sangat penting untuk menarik modal syariah yang jumlahnya luar biasa besar. Penerbitan surat Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk nantinya tidak akan dimonopoli oleh pemerintah. Sebab, lembaga selain pemerintah bakal diperbolehkan menerbitkan surat utang tersebut. Peluang tersebut tertuang dalam dokumen Rancangan Undang-Undang SBSN dalam bab V pasal 6 ayat 1. Aturan tersebut menyebutkan, penerbitan SBSN dapat dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit Sukuk. Pada dasarnya perusahaan penerbit itu adalah special purposes vehicle(SPV) yang dibentuk pemerintah. Perusahaan itu nantinya selain sebagai penerbit juga bertindak sebagai wali amanat. Perusahaan itu nantinya merupakan pihak atau lawan pemerintah dalam transaksi jual beli barang milik negara untuk dijadikan underlying asset (jaminan).
Selama ini, pemerintah selalu menjadwalkan ulang utang atau membuat utang baru untuk menutup utang lama. Itu jelas tidak akan menyelesaikan masalah. Sukuk memberikan alternatif lebih baik jika dibandingkan berutang. Tentang landasan hukum penerbitan sukuk direkomendasikan untuk dibuat undang-undang. Itu jalan paling aman dan tepat untuk kepentingan jangka panjang. Sejak awal syariah ingin menjadi part of the solution, bukan part of problem.

Dinamika Sosioekonomi dan Politik dalam Pemikiran Ibnu Khaldun

I. Riwayat Ibnu Khaldun
Ibnu khaldun merupakan perintis dari beberapa formula teori modern. Ibn Khaldun, begitu mashur dikalangan pemikir dan Ilmuwan Barat. Ia adalah pemikir dan Ilmuwan Muslim yang pemikiranya dianggap murni dan baru pada zamannya. Tak heran ide-idenya tentang masyarakat Arab seperti yang tertuang dalam buku fenomenalnya “muqaddimah” dianggap sebagai bibit dari kelahiran Ilmu Sosiologi. Penelitiannya tentang sejarah dengan menggunakan metode yang berbeda dari penelitian Ilmuwan pada saat itu juga disebut sebagai bibit dari kemunculan Filsafat Sejarah seperti yang ada sekarang. Kehidupannya yang malang melintang di Tunisia (Afrika) dan Andalusia, serta hidup dalam dunia politik tak ayal mendukung pemikirannya tentang Politik serta Sosiologi tajam dan mampu memberikan sumbangsih yang besar pada Ilmu Pengetahuan.
Ibnu Khaldun hidup pada masa antara 1332-1405 M ketika peradaban Islam dalam proses penurunan dan disintegrasi. Khalifah Abbasiyah di ambang keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan penghancuran Baghdad dan wilayah disekitarnya oleh bangsa Mongol pada tahun 1258, sekitar tujuh puluh lima tahun sebelum kelahiran Ibnu Khaldun. Dinasi Mamluk (1250-1517), selama periode kristalisasi gagasan Ibnu Khaldun, hanya berkontribusi pada percepatan penurunan peradaban akibat korupsi dan inefisiensi yang mendera kekhalifahan, kecuali pada masa awal-awal periode pertama yang singkat dari sejarah kekhalifahan Mamluk. [Periode pertama Bahri/Turki Mamluk (1250-1382) yang banyak mendapat pujian dalam tarikh, periode kedua adalah Burji Mamluk (1382-1517), yang dikelilingi serangkaian krisis ekonomi yang parah].
Sebagai seorang muslim yang sadar, Ibnu Khaldun tekun mengamati bagaimana caranya membalik atau mereversi gelombang penurunan peradaban Islam. Sebagai ilmuwan sosial, Ibnu Khaldun sangat menyadari bahwa reversi tersebut tidak akan dapat tegambarkan tanpa menggambarkan pelajaran-pelajaran dari sejarah terlebih dahulu untuk menentukan faktor-faktor yang membawa sebuah peradaban besar melemah dan menurun drastis.
Muqaddimah, yang diselesaikan pada November 1377 adalah buah karya dari cita-cita besarnya tersebut. Muqaddimah secara harfiah bararti 'pembukaan' atau 'introduksi' dan merupakan jilid pembuka dari tujuh jilid tulisan sejarah, yang secara bebas diterjemahkan ke dalam buku "The Book of Lessons and the Record of Cause and Effect in the History of Arabs, Persians and Berbers and Their Powerful Contemporaries." Muqaddimah mencoba untuk menjelaskan prinsip-prinsip yang menentukan kebangkitan dan keruntuhan dinasti yang berkuasa (daulah) dan peradaban ('umran). Tetapi bukan hanya itu saja yang dibahas, Muqaddimah juga berisi diskusi ekonomi, sosiologi dan ilmu politik, yang merupakan kontribusi orisinil Ibnu Khaldun untuk cabang-cabang ilmu tersebut. Ibnu Khaldun juga layak mendapatkan penghargaan atas formula dan ekspresinya yang lebih jelas dan elegan dari hasil karya pendahulunya atau hasil karya ilmuwan yang sejaman dengannya. Wawasan Ibnu Khaldun terhadap beberapa prinsip-prinsip ekonomi sangat dalam dan jauh kedepan sehingga sejumlah teori yang dikemukakannya hampir enam abad yang lalu sampai sekarang tidak diragukan

II. Dinamika Sosioekonomi dan Politik dalam Pemikiran Ibnu Khaldun
Model Ibnu Khaldun dapat disarikan (walaupun tidak secara keseluruhan) dalam nasihat berikut yang diberikannya kepada kekhalifahan:
Kekuatan penguasa (Al-Mulk) tidak akan terwujud kecuali dengan implementasi Syari'ah Syari'ah tidak dapat terimplementasi kecuali dengan Penguasa (Al-Mulk) Penguasa tidak dapat memperoleh kekuatan kecuali melalui Rakyat (Ar-Rijal) Rakyat tidak dapat dipelihara kecuali dengan Kekayaan (Al-Mal) Kekayaan tidak dapat diperoleh kecuali melalui Pembangunan (Al-Imarah) Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali melalui Keadilan (Al-'Adl) Keadilan adalah kriteria (Al-Mizan) Alloh menilai hamba-Nya dan Penguasa bertanggungjawab mengaktualisasikan Keadilan.
Nasihat Ibnu Khaldun disebut 'eight wise principles [kalimat hikamiyyah]', atau delapan prinsip kebijakan politik Ibnu Khaldun, masing-masing faktor berhubungan satu sama lain secara mutual, dalam formula sirkular tersebut, titik awal dan titik akhirnya tidak dapat dibedakan. Kalimat Hikamiyyah merefleksikan karakter analisa Ibnu Khaldun yang dinamis dan interdisiplin. Interdisiplin karena tidak merujuk penyebab kemunduran peradaban pada satu faktor sahaja, melainkan pada semua variabel penting sosial, ekonomi dan politik, termasuk Shari'ah (S), pemegang kekuasaan politik atau Wazi' (G), masyarakat atau Rijal (N), kekayaan atau cadangan sumberdaya atau Mal (W), pembangunan atau 'Imarah (g), dan keadilan atau 'Adl (j), dalam suatu hubungan sirkular dan interdependen, masing-masing faktor saling mempengaruhi dan pada saat yang sama juga menerima pengaruh dari faktor-faktor tersebut. Karena operasi dari siklus ini berlangsung melalui reaksi berantai selama periode yang panjang setidaknya tiga generasi atau sekitar 120 tahun, maka dimensi dinamisme dapat memperlihatkan bagaimana faktor-faktor moral, psikologi, politik, sosial, ekonomi dan demografi berinteraksi satu sama lain sepanjang waktu dan membawa kepada kemajuan atau kemunduran suatu peradaban. Dalam analisis jangka panjang, tidak ada klausa 'cateris paribus' karena tidak satupun faktor dan variabel yang tetap konstan. Salah satu variabel bertindak sebagai mekanisme pemicu, variabel lain mungkin bereaksi searah pemicunya, tetapi mungkin juga tidak bereaksi. Jika variabel lain tidak beraksi pada arah yg sama dengan faktor pemicunya, maka kerusakan di satu sektor mungkin tidak akan menyebar ke faktor yang lain sehingga sektor yang rusak akan tereformasi sejalan dengan waktu dengan kata lain kemunduran peradaban bisa lebih diperlambat. Tetapi, jika sektor yang lain bereaksi searah dengan mekanisme pemicu, maka kerusakan mendapat momentumnya melalui interelasi reaksi berantai sehingga sulit mendefinisikan dan membedakan penyebabnya. Lingkaran sebab akibat tersebut digambarkan sebagai Circle of Equity.
Dua link paling krusial dalam rantai sebab akibat adalah Development (g) dan Justice (j). Development sangat esensial karena kecenderungan alamiah dalam masyarakat adalah selalu berkembang, tidak diam dan stagnan, perkembangan tersebut dapat berupa kemajuan atau justru kemunduran. Development tidak semata berarti pertumbuhan ekonomi (economic growth). Development meliputi segenap aspek pembangunan manusia sehingga setiap variabel saling memperkaya dan diperkaya satu sama lain (G,S,N dan W), sehingga dapat memberikan kontribusi pada well-being yang sebenarnya atau kebahagiaan masyarakat (N), dan kontribusi tersebut tidak hanya bertujuan untuk mempertahankan peradaban semata, melainkan juga untuk kemajuannya. Development tidak akan pernah mungkin terwujud tanpa Justice (j). Dua faktor tersebut berinterelasi sangat dekat dalam analisis Ibnu Khaldun, sehingga keduanya ditampilkan sejajar dan bersamaan dalam diagram Circle of Equity. Keadilan, sebagaimana pembangunan, oleh Ibnu Khaldun tidak dipahami dalam konteks yang sempit, melainkan dalam konteks yang lebih komprehensif yang meliputi keadilan untuk seluruh umat manusia. Keadilan dalam konteks komprehensif ini tidak mungkin terealisasi tanpa menciptakan masyarakat yang saling peduli melalui persaudaraan (brotherhood), dan kesetaraan sosial (social equality), jaminan keamanan hidup, keamanan properti, penghagaan terhadap sesama, kejujuran dalam pemenuhan kewajiban-kewajiban sosial, ekonomi dan politik, penghargaan atau hukuman yang sesuai dengan perbuatan, dan pencegahan dari kekejaman, dari ketidakadilan pada setiap umat manusia dalam segala bentuknya.
Relasi fungsional analisis Ibnu Khaldun dapat dinyatakan sebagai:
G = f(S,N,W,g dan j)
Persamaan diatas belum dapat menggambarkan model dinamis Ibnu Khaldun secara utuh, tetapi masih bisa merefleksikan karakter multidisiplin dengan memperhitungkan semua variabel mayor yang disampaikan Ibnu Khaldun. Dalam persamaan ini, G ditampilkan sebagai variabel terikat karena salah satu perhatian utama Ibnu Khaldun adalah untuk menerangkan bagaimana kemajuan dan kemunduran dari dinasti-dinasti (negara) atau suatu peradaban. Menurutnya, kekuatan atau kelemahan dinasti bergantung pada kekuatan atau kelemahan otoritas politik yang mewujudkannya. Otoritas politik (G) harus (untuk kepentingan kelangsungan hidup jangka panjang) menjamin well-being bagi masyarakat (N) dengan menyediakan lingkungan yang sesuai untuk aktualisasi pembangunan (g) dan keadilan (j) melalui implementasi Syari'ah (S), dan pembangunan serta distribusi kekayaan (W) yang setara.

PEMIMPIN OTOKRATIK DAN DEMOKRATIK

PEMIMPIN OTOKRATIK DAN DEMOKRATIK

Salah satu pendekatan pada karakteristik pemimpin adalah mempelajari pemimpin otokratik dan demokratik.
Seorang pemimpin otokratik adalah seseorang yang cenderung untuk mensentralisasi otoritas dan mengendalkan kekuatan legitimasi, penghargaan dan koersif.
Seorang pemimpin demokratik adalah mendelegasikan otoritas kepada orang lain, mendorong partisipasi, dan mengandalkan kekuatan keahlian dan referensi untuk mempengaruhi bawahan.
Studi pertama kali tentang karakteristik kepemimpinan ini dilakukan di Iowa State University oleh Kurt Lewin dan kawan-kawannya. Studi ini membandingkan pemimpin otokratik dan demokratik, dan menghasilkan beberapa penemuan yang menarik. Kelompok yang dipimpin oleh pemimpin yang otokratik berkinerja sangat baik selama pemimpin hadir mengawasi mereka. Namun, anggota kelompok tidak senang dengan kehadiran gaya kepemimpinan otokratik dan perasaan bermusuhan seringkali muncul. Kinerja kelompok yang dipimpin oleh pemimpin demokratik hampir sama baik, dan dicirikan dengan perasaan positif dan bukan permusuhan. Sebagai tambahan, dibawah kepemimpinan demokratik, anggota kelompok berkinerja dengan baik, bahkan ketika pemimpin tidak hadir dan meninggalkan kelompok sendiri.
Teknik partisipatif dan aturan utama dalam pembuatan keputusan yang digunakan oleh pemimpin demokratik adalah untuk melatih dan melibatkan semua anggota kelompok, hingga mereka berkinerja baik dengan atau tanpa kehadiran pemimpin. Karakteristik kepemimpinan demokratik ini menjelaskan mengapa pemberdayaan karyawan menjadi tren populer dalam perusahaan kini.

Konsep Kepemilikan Dalam Islam

1. SISTEM-SISTEM EKONOMI DUNIA
Sistem ekonomi yang ada di dunia ini dalam perbincangan disiplin ilmu ekonomi, hanya dikelompokkan menjadi dua. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Samuelson & Nordhaus (1999)
Sistem perekonomian komando (command economy). Pada sistem ini pemerintah diberi kewenangan penuh untuk mengambil semua keputusan yang menyangkut soal produksi dan distribusi. Negara juga menguasai hampir semua sarana produksi (tanah atau modal). Negara memiliki dan mengatur secara langsung operasi semua perusahaan di berbagai sektor industri. Negara merupakan majikan dari semua angkatan kerja. Sistem ekonomi ini biasa disebut dengan sistem ekonomi sosialisme atau komunisme.
Sistem perekonomian pasar (market economy). Dalam perekonomian ini, individu dan perusahaan membuat keputusan-keputusan utama mengenai produksi dan konsumsi. Campur tangan pemerintah sangat terbatas. Keputusan ekonomi umumnya diserahkan pada kekuatan-kekuatan pasar. Sistem ekonomi ini biasa dikenal dengan sistem ekonomi libelarisme atau kapitalisme.
Dari tinjauan literatur tersebut nampak bahwa sistem ekonomi Islam belum mendapat tempat, atau bahkan mungkin dianggap tidak ada. Itulah sebabnya, dari kalangan ekonom muslim muncul semangat yang besar untuk menghadirkan sosok ekonomi Islam di tengah kancah pergulatan pemikiran ekonomi dunia.

SISTEM EKONOMI ISLAM
Sebenarnya ada tolok ukur yang sangat jelas apabila kita hendak membedakan antara satu sistem ekonomi dengan sistem ekonomi lainnya.
Tolok ukur tersebut tidak lain adalah:
Sesungguhnya seluruh harta kekayaan yang ada di dunia itu hak milik siapa?
Siapa sesungguhnya yang berhak untuk mengelolanya?
Produk hasil pengelolaan tersebut akan di distribusikan kepada siapa?

Islam memandang bahwa seluruh harta yang ada di dunia ini (bahkan seluruh alam semesta ini) sesungguhnya adalah milik Allah, berdasarkan firman Allah:
“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakannya kepadamu” (Q.S. An-Nuur: 33).
Dari ayat ini dipahami bahwa harta yang dikaruniakan Allah kepada manusia sesungguhnya merupakan pemberian Allah yang dikuasakan kepadanya. Hal itu dipertegas dengan mendasarkan pada firman Allah:
“Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya” (Q.S. Al-Hadiid: 7).

Penguasaan (istikhlaf) ini berlaku umum bagi semua manusia. Semua manusia mempunyai hak pemilikan, tetapi bukan pemilikan yang sebenarnya. Oleh karena itu bagi individu yang ingin memiliki harta tertentu, maka Islam telah menjelaskan sebab-sebab pemilikan yang boleh (halal) dan yang tidak boleh (haram) melalui salah satu sebab pemilikan. Islam telah menggariskan hukum-hukum perolehan individu, seperti: hukum bekerja, berburu, menghidupkan tanah yang mati, warisan, hibbah, wasiat dsb.
Ternyata sistem ekonomi Islam memandang bahwa harta kekayaan yang ada di dunia ini tidak hanya diperuntukkan pada individu untuk dapat dimiliki sepenuhnya

3. Pandangan Islam terhadap Kepemilikan
Islam mencakup sekumpulan prinsip dan doktrin yang memedomani dan mengatur hubungan seorang muslim dengan Tuhan dan masyarakat. Dalam hal ini, Islam bukan hanya layanan Tuhan seperti halnya agama Yahudi dan Nasrani, tetapi juga menyatukan aturan perilaku yang mengatur dan mengorganisir umat manusia baik dalam kehidupan spiritual maupun material.8
Dalam pandangan Islam, pemilik asal semua harta dengan segala macamnya adalah Allah SWT karena Dialah Pencipta, Pengatur dan Pemilik segala yang ada di alam semesta ini:
وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا يخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
"Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya. Dia menciptakan apa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu".
Sedangkan manusia adalah pihak yang mendapatkan kuasa dari Allah SWT untuk memiliki dan memanfaatkan harta tersebut
ءَامِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ
"Berimanlah kamu kepada allah dan RasulNya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya..."
Seseorang yang telah beruntung memperoleh harta, pada hakekatnya hanya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai dengan kehendak pemilik sebenarnya (Allah SWT), baik dalam pengembangan harta maupun penggunaannya. Sejak semula Allah telah menetapkan bahwa harta hendaknya digunakan untuk kepentingan bersama. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa "pada mulanya" masyarakatlah yang berwenang menggunakan harta tersebut secara keseluruhan, kemudian Allah menganugerahkan sebagian darinya kepada pribadi-pribadi (dan institusi) yang mengusahakan perolehannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Sehingga sebuah kepemilikan atas harta kekayaan oleh manusia baru dapat dipandang sah apabila telah mendapatkan izin dari Allah SWT untuk memilikinya. Ini berarti, kepemilikan dan pemanfaatan atas suatu harta haruslah didasarkan pada ketentuan-ketentuan shara' yang tertuang dalam al-Qur'an, al-Sunnah, ijma' sahabat dan al-Qiyas.
§ kepemilikan (al-milkiyyah),
§ mekanisme pengelolaan kekayaan (kayfiyyah al-tasarruf fi al-mal) dan
§ distribusi kekayaan di antara manusia (al-tawzi' al-tharwah bayna al-nas).
Dari beberapa keterangan nash-nash shara' dapat dijelaskan bahwa kepemilikan terklasifikasi menjadi tiga jenis, yakni
Kepemilikan pribadi (al-milkiyat al-fardiyah/private property)
Adalah hukum shara' yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan tertentu, yang memungkinkan pemiliknya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasinya--baik karena diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa ataupun karena dikonsumsi--dari barang tersebut.
Adanya wewenang kepada manusia untuk membelanjakan, menafkahkan dan melakukan berbagai bentuk transaksi atas harta yang dimiliki, seperti jual-beli, gadai, sewa menyewa, hibah, wasiat, dll adalah meriupakan bukti pengakuan Islam terhadap adanya hak kepemilikan individual.
Karena kepemilikan merupakan izin al-shari' untuk memanfaatkan suatu benda, maka kepemilikan atas suatu benda tidak semata berasal dari benda itu sendiri ataupun karena karakter dasarnya, semisal bermanfaat atau tidak. Akan tetapi ia berasal dari adanya izin yang diberikan oleh al-shari' serta berasal dari sebab yang diperbolehkan al-shari' untuk memilikinya (seperti kepemilikan atas rumah, tanah, ayam dsb bukan minuman keras, babi, ganja dsb), sehingga melahirkan akibatnya, yaitu adanya kepemilikan atas benda tersebut.
Kepemilikan Umum (al-milkiyyat al-'ammah/ public property)
Adalah izin al-shari' kepada suatu komunitas untuk bersama-sama memanfaatkan benda, Sedangkan benda-benda yang tergolong kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh al-shari' sebagai benda-benda yang dimiliki komunitas secara bersama-sama dan tidak boleh dikuasai oleh hanya seorang saja. Karena milik umum, maka setiap individu dapat memanfaatkannya namun dilarang memilikinya.
Setidak-tidaknya, benda yang dapat dikelompokkan ke dalam kepemilikan umum ini, ada tiga jenis, yaitu:
Fasilitas dan sarana umum
Benda ini tergolong ke dalam jenis kepemilikan umum karena menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan jika tidak terpenuhi dapat menyebabkan perpecahan dan persengketaan. Jenis harta ini dijelaskan dalam hadith nabi yang berkaitan dengan sarana umum:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
"Manusia berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api " (HR Ahmad dan Abu Dawud) dan dalam hadith lain terdapat tambahan: "...dan harganya haram" (HR Ibn Majah dari Ibn Abbas).18
Air yang dimaksudkan dalam hadith di atas adalah air yang masih belum diambil, baik yang keluar dari mata air, sumur, maupun yang mengalir di sungai atau danau bukan air yang dimiliki oleh perorangan di rimahnya. Oleh karena itu pembahasan para fuqaha mengenai air sebagai kepemilikan umum difokuskan pada air-air yang belum diambil tersebut. Adapun al-kala' adalah padang rumput, baik rumput basah atau hijau (al-khala) maupun rumput kering (al-hashish) yang tumbuh di tanah, gunung atau aliran sungai yang tidak ada pemiliknya. Sedangkan yang dimaksud al-nar adalah bahan bakar dan segala sesuatu yang terkait dengannya, termasuk didalamnya adalah kayu bakar.
Bentuk kepemilikan umum, tidak hanya terbatas pada tiga macam benda tersebut saja melainkan juga mencakup segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat dan jika tidak terpenuhi, dapat menyebabkan perpecahan dan persengketaan. Hal ini disebabkan karena adanya indikasi al-shari' yang terkait dengan masalah ini memandang bahwa benda-benda tersebut dikategorikan sebagai kepemilikan umum karena sifat tertentu yang terdapat didalamnya sehingga dikategorikan sebagai kepemilikan umum.

Kepemilikan Negara (milkiyyat al-dawlah/ state private)
Adalah harta yang merupakan hak bagi seluruh kaum muslimin/rakyat dan pengelolaannya menjadi wewenang khalifah/negara, dimana khalifah/negara berhak memberikan atau mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslim/rakyat sesuai dengan ijtihadnya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.
Kepemilikan negara ini meliputi semua jenis harta benda yang tidak dapat digolongkan ke dalam jenis harta milik umum (al-milkiyyat al-'ammah/public property) namun terkadang bisa tergolong dalam jenis harta kepemilikan individu (al-milkiyyat al-fardiyyah).
Beberapa harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan negara menurut al-shari' dan khalifah/negara berhak mengelolanya dengan pandangan ijtihadnya adalah:
1. Harta ghanimah, anfal (harta yang diperoleh dari rampasan perang dengan orang kafir), fay' (harta yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan) dan khumus
2. Harta yang berasal dari kharaj (hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan atau tidak)
3. Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah kepada kaum muslim dari orang kafir sebagai tunduknya mereka kepada Islam)
4. Harta yang berasal dari daribah (pajak)
5. Harta yang berasal dari ushur (pajak penjualan yang diambil pemerintah dari pedagang yang melewati batas wilayahnya dengan pungutan yang diklasifikasikan berdasarkan agamanya)
6. Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa waris (amwal al-fadla)
7. Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad
8. Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai negara, harta yang didapat tidak sejalan dengan shara'
9. Harta lain milik negara, semisal: padang pasir, gunung, pantai, laut dan tanah mati yang tidak ada pemiliknya.

4. GARIS PERBEDAAN
Dari uraian global tentang sistem ekonomi Islam tersebut maka akan nampak perbedaan yang sangat mendasar dengan sistem ekonomi yang lain, baik kapitalisme maupun sosialisme. Sistem ekonomi Islam tidak membiarkan harta kekayaan yang ada di bumi ini “diperebutkan” secara bebas sebagaimana dalam ekonomi kapitalisme. Akibat dari persaingan bebas dalam ekonomi kapitalisme, sebagaimana telah umum difahami telah mengakibatkan pihak yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin.
Kita tentu tidak terlalu kaget jika ada 3 orang terkaya di dunia ini, ternyata kekayaannya lebih besar dari gross domestic product (GDP) 48 negara termiskin dunia. Itu berarti setara dengan seperempat jumlah total negara di dunia. Itu adalah hasil penelitian Brecher dan Smith. Demikian juga, tidak kalah hebatnya, menurut penelitian Noam Chomsky, 1% penduduk dengan pendapatan tertinggi dunia, setara dengan 60% penduduk pendapatan terendah dunia, yaitu sama dengan pendapatan dari 3 milyar manusia (Triono, 2005). Itulah “karya” nyata dari ekonomi kapitalisme.
Demikian juga, sistem ekonomi Islam juga dapat dibedakan dengan dengan jelas terhadap sistem ekonomi sosialisme. Hal itu disebabkan, di dalam sistem ekonomi Islam tetap memberi ijin kepada individu-individu untuk memiliki harta kekayaan, sebanyak apapun, sepanjang harta itu diperoleh melalui jalan yang dihalalkan oleh Islam. Jika kepemilikan individu tidak diakui, maka akibatnya dapat dilihat pada sistem ekonomi sosialisme, yaitu menyebabkan gairah kerja dan semangat berproduksi menjadi hilang.
Zain (1988), memberi bukti bahwa pengakuan terhadap kebabasan kepemilikan individu memang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang terjadi pada sistem pertanian individual di Eropa Barat dibanding dengan sistem komunal di Rusia dan RRC. Sistem pertanian komunal di Rusia dan RRC produksinya selalu tidak pernah mengungguli produksi pertanian individu di negara-negara Eropa Barat. Fakta-fakta menunjukkan bahwa produksi pertanian di kedua negara tersebut cenderung selalu mengalami kegagalan.

Keunggulan dari sistem ekonomi Islam terutama dapat dilihat dari adanya kepemilikan umum. Sumber-sumber daya alam yang besar seperti hutan, tambang, minyak, gas, batubara, listrik, air dsb. adalah termasuk dalam kategori kepemilikan umum, sehingga seluruh hasil dari sumber daya alam tersebut harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik hakiki dari harta tersebut. Harta tersebut bukanlah milik negara, bukan milik individu, bukan milik swasta, apalagi milik swata asing sebagaimana fakta terjadinya “perampokan” dan “penjarahan” yang saat ini banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing dari negara maju kepada negara berkembang.
A. Mekanisme Ekonomi
Mekanisme ekonomi yang ditempuh Sistem Ekonomi Islam dalam rangka mewujudkan distribusi kekayaan diantara manusia yang seadil-adilnya, adalah dengan sejumlah cara, yakni:
(1) Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab kepemilikan (asbabu al-tamalluk) dalam kepemilikan individu (al-milkiyah al-fardiyah).
Menurut An-Nabhaniy (1990), Islam telah menetapkan sebab-sebab tertentu dimana seseorang dapat memiliki harta yang berkaitan dengan kepemilikan individu (al-milkiyah al-fardiyah) yakni (1) bekerja; (2) warisan; (3) kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup; (4) harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat; dan (5) harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun.
Agar berbagai jenis pekerjaan yang telah ditetapkan tersebut dapat dijalankan dengan baik, maka negara mempunyai kewajiban untuk menyediakan lapangan pekerjaan serta membuat berbagai ketentuan yang memudahkan setiap orang menjalankan pekerjaan tersebut.
(2) Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya pengembangan kepemilikan (tanmiyatu al-milkiyah) melalui kegiatan investasi.
Pengembangan Kepemilikan (tanmiyatu al-milkiyah) adalah suatu mekanisme yang dipergunakan seseorang untuk menghasilkan tambahan kepemilikan tersebut. Karenanya Islam mengemukakan dan mengatur serta menjelaskan suatu mekanisme untuk mengembangkan kepemilikan.
Dalam masalah pengembangan kepemilikan, Syara’ telah menjelaskan garis-garis besar tentang mekanisme yang dipergunakan untuk mengembangkan kepemilikan, disamping juga menyerahkan rincian hukumnya kepada para mujtahid agar mereka menggali hukum-hukumnya secara rinci berdasarkan pada nash-nash yang menjelaskan tentang mekanisme tersebut serta berdasarkan pemahaman terhadap fakta yang ada. Dengan demikian syara’ telah menjelaskan berbagai muamalah dan transaksi-transaksi yang dapat digunakan untuk mengembangkan kepemilikan sekaligus juga menjelaskan berbagai muamalah dan transaksi-transaksi yang tidak boleh dilakukan dalam rangka mengembangkan kepemilikan. Dalam hal ini Islam memiliki hukum-hukum tentang pertanian, perdagangan, dan industri.
Dari sinilah kita ketahui teknik yang umumnya digunakan orang-orang mengembangkan untuk harta kekayaan adalah dengan jalan melaksanakan aktivitas pertanian, perdagangan dan industri. Yang kesemuanya ditujukan dalam rangka meningkatkan produktivitasnya.
(3) Larangan menimbun harta benda walaupun telah dikeluarkan zakatnya. Harta yang ditimbun tidak akan berfungsi ekonomi. Pada gilirannya akan menghambat distribusi karena tidak terjadi perputaran harta.
Al-Badri (1992) menjelaskan bahwa Islam mengharamkan menimbun harta benda walaupun telah dikeluarkan zakatnya dan mewajibkan pembelanjaan terhadap harta tersebut agar ia beredar di tengah-tengah masyarakat sehingga dapat diambil manfaatnya.
(4) Membuat kebijakan agar harta beredar secara luas serta menggalakkan berbagai kegiatan syirkah dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan.
Islam memerintahkan agar harta benda beredar di seluruh anggota masyarakat, dan tidak hanya beredar di kalangan tertentu, sementara kelompok lainnya tidak mendapat kesempatan. Caranya adalah dengan menggalakkan kegiatan investasi dan pembangunan infrastruktur. Untuk merealisasikan hal ini, maka negara akan menjadi fasilitator antara orang-orang kaya yang tidak mempunyai waktu dan kesempatan untuk mengelola dan mengembangkan hartanya dengan para pengelola yang profesional yang modalnya kecil atau tidak ada. Mereka dipertemukan dalam kegiatan perseroan (syirkah).
Selain itu negara dapat juga memberikan pinjaman modal kepada orang-orang yang memerlukan modal usaha. Dan tentu saja pinjaman yang diberikan tanpa dikenakan bunga ribawi. Bahkan kepada orang-orang tertentu dapat saja diberikan modal usaha secara cuma-cuma sebagai hadiah agar ia tidak terbebani untuk mengembalikan pinjaman.
Cara lain yang dilakukan oleh negara untuk mendorong pusat-pusat pertumbuhan ekonomi adalah dengan membuat dan menyediakan berbagai fasilitas seperti jalan raya, pelabuhan, pasar dan lain sebagainya. Juga membuat kebijakan yang memudahkan setiap seorang membuat dan mengembangkan berbagai macam jenis usaha produktif.
(5) Larangan kegiatan monopoli, serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi pasar.
Islam melarang terjadinya monopoli terhadap produk-produk yang merupakan jenis kepemilikan individu (private property). Sebab dengan adanya monopoli, maka seseorang dapat menetapkan harga jual produk sekehendaknya, sehingga dapat merugikan kebanyakan orang. Bahkan negara tidak diperbolehkan turut terlibat dalam menetapkan harga jual suatu produk yang ada di pasar, sebab hal ini akan menyebabkan terjadinya distorsi pasar. Islam mengharamkan penetapan harga secara mutlak. Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Anas ra. Yang mengatakan :
“Harga pada masa Rasulullah saw mengalami kenaikan sangat tajam (membumbung). Lalu mereka melaporkan : ‘Wahai Rasulullah, kalau seandainya harga ini engkau tetapkan (niscaya tidak membumbung seperti ini). Beliau saw menjawab : ‘Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha menciptakan, Yang Maha Menggenggam, Yang Maha Melapangkan, Yang Maha Memberi Rizki, lagi Maha Menentukan Harga. Aku ingin mengadap ke hadirat Allah, sementara tidak ada satu orang pun yang menuntutku karena suatu kezaliman yang aku lakukan kepadanya, dalam masalah harta dan darah.”
Imam Abu Daud meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. yang mengatakan :
“Bahwa ada seorang laki-laki datang lalu berkata : ‘Wahai Rasulullah, tetapkanlah harga ini.’ Beliau menjawab : ‘(Tidak) justru, biarkan saja.’ Kemudian beliau didatangi laki-laki yang lain lalu mengatakan : ‘Wahai Rasulullah, tetapkanlah harga ini.’ Beliau menjawab: ‘(Tidak) tetapi Allah-lah yang berhak menurunkan dan menaikkan.”
Hadits-hadits ini menunjukkan haramnya penetapan harga, dimana penetapan harga tersebut merupakan salah satu bentuk kezaliman yang harus dihilangkan. Larangan penetapan harga bersifat umum untuk semua jenis barang, tanpa dibedakan antara bahan makanan pokok dengan yang tidak.
Meskipun demikian terhadap produk-produk yang termasuk kepemilikan umum, Islam membolehkan adanya monopoli oleh negara. Namun monopoli oleh negara bukan berarti negara dapat menetapkan harga seenaknya demi mengejar keuntungan semata. Namun negara justru berkewajiban menyediakan berbagai produk tersebut dengan harga semurah mungkin.
Hal lain yang juga dilarang oleh Islam adalah adanya upaya memotong jalur pemasaran yang dilakukan oleh pedagang perantara, sehingga para produsen terpaksa menjual pruduknya dengan harga sangat murah, padahal harga yang berlaku di pasar tidak serendah yang mereka peroleh dari pedagang perantara. Diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Umar ra. ia berkata :
“Kami pernah keluar menyambut orang-orang yang datang membawa hasil panen dari luar kota lalu kami membelinya dari mereka. Rasulullah saw melarang kami membelinya sampai hasil panen tersebut dibawa ke pasar.” (HR. Bukhari)
Menurut riwayat Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda :
“Janganlah kamu keluar menyambut orang-orang yang membawa hasil panen ke dalam kota kita.” (HR. Bukhari)

B. Problem Kepemilikan
Sistem Ekonomi Indonesia yang bercorak kapitalistik sudah mulai terasa sejak rezim Soeharto berkuasa. Pada saat itu, sejarah memang mencatat, bagaimana pertumbuhan ekonomi begitu pesat. Para analis pada saat itu mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang. Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5–10%, rupiah stabil dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang (www.wikipedia.org). Namun, pertumbuhan yang ditopang oleh utang luar negeri ini pada akhirnya mencapai bubble economic pada tahun 1998.

MISAL, FREEPORT, PENGUASAAN BLOK CEPU OLEH EXXON MOBIL

2) Problem Distribusi kekayaan
Dalam sebuah artikel khusus harian Republika dilaporkan bahwa omset tahun 1993 dari 14 konglomerat Indonesia terbesar yang tergabung dalam grup Praselya Mulya, diantaranya Om Liem (Salim Group), Ciputra (Ciputra Group), Mochtar Riady (Lippo Group), Suhargo Gondokusumo (Dharmala Group), Eka Tjipta (Sinar Mas Group) mencapai 47,2 trilyun rupiah atau 83 % APBN Indonesia tahun itu (Purnawanjati,Siddiq. Membangun Ekonomi Alternatif Pasca Kapitalisme). Ini menandakan, bahwa lebih dari 80 % perputaran uang di Indonesia, hanya berkutat pada segelintir orang saja. Sementara sisanya, terbagi ke seluruh wilayah di Indonesia dengan penduduknya sejumlah 200 juta jiwa. Maka wajar apabila kemiskinan semakin merajalela, memperbesar jurang antara si kaya dan si miskin.

3) Sistem Uang Kertas
Salah satu penyebab utama jatuhnya perekonomian Indonesia pada tahun 1997/1998 adalah, meningkatnya nilai tukar dollar terhadap rupiah yang pada saat itu menembus angka Rp.8000 per Dollar. Akibatnya, impian Indonesia untuk menjadi Negara Industri Baru (NIB) pupus sudah. Indonesia bukan lagi menjadi negara miskin tetapi super miskin di bawah India dan setara dengan Kamboja, Kenya atau Bangladesh yang mempunyai pendapatan per kapita dibawah 300 dolar (Purnawanjati, Siddiq. Membangun Ekonomi Alternatif Pasca Kapitalisme). Belum lagi dampak dari sistem uang yang fluktuatif ini yang akan menyebabkan inflasi, sehingga harga-harga melambung tinggi terutama untuk barang kebutuhan pokok, sebagaimana yang pernah melanda Indonesia pada tahun 1997/1998.

Zakat dan Pajak dalam perspektif Islam

Agama Islam merupakan agama Rahmatan Lil Alamin, yaitu agama yang mengajarkan kasih sayang kepada sesamanya. Salah satu bentuk kasih sayang umat Islam kepada saudaranya adalah dengan mengeluarkan zakat. Zakat sangat berarti bagi sebagian masyarakat, karena zakat diupayakan untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat ekonomi lemah. Selanjutnya, zakat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib hukumnya bagi setiap muslim yang telah mencukupi syarat-syaratnya. Itu berarti Islam mengakui adanya hak milik pribadi dan mendorong pemeluknya untuk berjiwa social dengan membantu orang yang tidak mampu.
Selanjutnya, menurut sebuah hadits, Nabi Muhammad bersabda: bahwa Ia tidak berharap untuk mempunyai sebuah timbunan emas sebesar gunung Uhud, jika Ia tidak dapat membelanjakan semuanya di jalan Allah.
Pada masyarakat yang telah maju, banyak sektor kegiatan ekonominya yang tidak terjaring oleh sistem zakat. Apalagi pada masyarakat yang tidak semuanya beragama Islam. Masyarakat semacam itu dapat terjaring oleh system pajak yang hasilnya dapat digunakan untuk kepentingan umum. Dengan kata lain bahwa para wajib pajak jauh lebih banyak jumlahnya daripada wajib zakat. Karena hal yang harus ditanggulangi wajib pajak jauh lebih luas, yaitu sehubungan dengan orang banyak. Jadi, perhatian terhadap pajak telah diperhatikan oleh Islam sejak zaman klasik atau zaman permulaan perkembangan Islam yang secara tegas terlihat pada masa khalifah Umar bin Khattab.

2.1 Pengertian Zakat dan Pajak
Zakat menurut bahasa berarti kesucian, kesuburan, dan keberkahan. Zakat menurut istilah adalah mengeluarkan kadar harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim yang berhak menerimanya (mustahiq) dengan persyaratan tertentu.
Zakat diwajibkan atas 5 hal. Yaitu:
1) binatang ternak 4) buah-buahan
2) harta uang 5) harta benda perniagaan
3) hasil bumi
2.1.2 dasar-dasar kewajiban zakat
Zakat adalah kewajiban yang berdasarkan syariat. Islam mewajibkan setiap muslim untuk mengeluarkan zakat apabila telah sampai nisabnya (batas minimal dari harta yang wajib dizakati) dan haul (masa pemilikan harta sehingga wajib zakat).
Pajak adalah pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah.
Dengan gaya yang khas, Al-Qur’an membujuk para umatnya untuk menyisihkan sebagian hartanya dan mengetuk hati mereka agar bersemangat dan ringan serta ikhlas untuk membayar zakat ataupun pajak demi kepentingan umat maupun kepentingan umum.

2.2 Dasar-Dasar Kewajiban Zakat Dan Pajak
Zakat adalah kewajiban berdasarkan syari’at Islam. Islam mewajibkan setiap muslim untuk mengeluarkan zakat apabila sampai pada nisab (batas minimal yang wajib dizakati) dan haul (masa pemilikan harta sehingga wajib zakat). Nisab zakat adalah apabila harta kita telah mencapai batas senilai 91,92 gr emas.
Zakat bertujuan mensucikan dan membersihkan jiwa dari sifat-sifat bakhil. Zakat juga membersihkan dan mensucikan masyarakat dari kecemburuan sosial dari kecemburuan sosial saling mendendam dan mendengki serta kegoncangan dan fitnah. Seperti diutarakan QS At Taubah (103): “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dan doakanlah mereka, sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Adapun kewajiban mengeluarkan pajak didasarkan kepada upaya kemaslahatan umum, memenuhi tujuan negara, mewujudkan masyarakat yang sejahtera lahir dan bathin.
Pada masyarakat yang telah maju, banyak sektor kegiatan ekonominya yang tidak terjaring oleh sistem zakat. Apalagi pada masyarakat yang penduduknya tidak semuanya beragama Islam. Masyarakat semacam itu dapat dijaring melalui pajak.
Dengan kata lain bahwa para wajib pajak jauh lebih banyak jumlahnya daripada wajib zakat. Karena hal yang harus ditanggulangi wajib pajak lebih luas. Yaitu sehubungan dengan kebutuhan orang banyak.

2.3 Peran Zakat Dan Pajak Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
1. Peran zakat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Dalam zakat terdapat berbagai macam manfaat dan faedah, baik yang berkaitan denagn dunia dan keagamaan. Bukankah semua manusia itu menyenangi harta yang banyak, tetapi mereka tidak pernah ada yang menyadari bahwa didalam harta itu banyak sekali bencana, malapetaka dan fitnahnya.
Jika seseorang mempunyai harta kemudian ia suka mengeluarkan zakat, tentunya tidak seberapa banyak yang dikeluarkan itu kalau dibandingkan dengan sisanya yang jauh lebih banyak. Namun, kalau zakat yang sedikit itu sudah ditunaikan maka pemiliknya itu akan selamat dari segala macam bencana dan fitnah.
Dari segi pengambilan, zakat akan mampu membersihkan sifat-sifat bakhil. Dari segi pemberiannya, zakat akan mampu menciptakan kesejahteraan dan terbebasnya sikap kecemburuan sosial, rasa dendam dan mampu menyelamatkan masyarakat dari berbagai huru-hara dan gejolak sosial. Dari segi penerimaannya, zakat memiliki misi, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga terpenuhinya kebutuhan hidup manusia.
Islam memerintahkan mengeluarkan zakat untuk hampir semua harta yang dimiliki. Adapun harta benda yang wajib dizakati adalah:
a. binatang ternak (unta, lembu, kambing)
b. mata uang (mata uang emas dan perak)
c. hasil bumi
d. buah-buahan (kurma dan anggur)
e. harta benda perniagaan
Sedangkan orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiq zakat). Sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S At Taubah ayat 60, yaitu:
a. orang-orang fakir
b. orang-orang miskin
c. amil
d. muallaf
e. ghorim
f. untuk memerdekakan budak
g. orang yang berjihad di jalan Allah (Jihad Fisabillillah)
h. ibnu sabil

2. Peran pajak dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Kita telah melihat dengan mata kepala sendiri kesejahteraan umum di negara tercinta ini. Di negara ini, kita menyaksikan berbagai sarana dan fasilitas kehidupan masyarakat, berbagai jenis pembangunan fisik dan pembinaan kehidupan yang semarak. Sarana peribadatan tidak hanya pada lingkungan masyarakat. Arus perhubungan yang semakin mudah dijangkau, sistem komunikasi yang semakin cepat dan banyak hal lagi. Pembangunan fisik material dan mental spiritual tersebut dapat kita rasakan berkat adanya pajak, walaupun kesemuanya itu tidak hanya dari penghasilan pajak ditambah dari penghasilan-penghasilan usaha negara. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pajak sangatlah dibutuhkan bagi negara untuk kelangsungan hidup negara.

2.4 Pelaksanaan Zakat Dan Pajak Dalam Sejarah Islam
Menurut hadits Nabi, pembayaran zakat bukan merupakan kebiasaan yang dilakukan selama periode Makkah. Pada saat itu, umat beragama memberi zakat secara diam-diam untuk menolong orang miskin dan juga untuk membebaskan para budak. Kemudian, selama tahun kedua setelah pindah ke madinah, Nabi Muhammad menerima wahyu yang memerintahkan secara tegas untuk membayar zakat (QS. Ali Imron ayat 110). Kemudian Rasullullah menetapkannya sebagai sebuah kewajiban. Umat Islam harus membayar sejumlah harta untuk zakat. Hal itu merupakan cerminan dari Al Qur’an.
Sedangkan sejak zaman Rasullullah telah diterapkan kewajiban pengeluaran hart yang sifat dan teknisnya menyerupai pajak, demikian pula dalam penggunaannya.
Di zaman pemerintahan Nabi, dikenal nama-nama:
a. jizyah, yaitu sejumlah harta yang dibebankan kepada non muslim yang berada di bawah tanggungan dan perjanjian dengan Islam.
b. fa’i, yaitu upeti yang harus dibayarkan oleh lawan-lawan Islam, dalam upaya perlindungan.
c. kharaj, yaitu pajak non muslim yang berdiam di wilayah muslim.
d. kafarah, yaitu harta yang dikeluarkan sebagai upaya taubat dari dosa.
Pada masa khalifah yang kedua, yaitu Khalifah Umar bin Khattab terjadi perluasan daerah kekuasaan Islam hingga keluar jazirah Arab. Sebagian besar dari kemenangan-kemenangan Islam yang terjadi pada masa kekhalifahannya. Seiring kemenangan-kemenangan itu, khalifah Umar mengijinkan semua umat Islam untuk memanfaatkan kekayaan dengan membagikannya diantara mereka.
Informasi tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan, pengelolaan dan pengeluaran semacam pajak dalam Islam telah dimualai sejak lama, yaitu sejak zaman pemerintahan Khalifah Umar. Sejak masa itu, Islam mengembangkan sayapnya keluar wilayah Arab. Dari pajak itu tercipta kesejahteraan masyarakat dan kemakmuran, sehingga pada masa itu tercatat sebagai masa kemajuan Islam.

Kesimpulan
a. zakat merupakan rukun Islam yang diwajibkan bagi setiap umat muslim.
b. zakat memiliki misi meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yaitu terpenuhinya kebutuhan hidup manusia, seperti sandang., pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan.
c. pajak lebih digunakan untuk keperluan biaya penyelenggaraan kegiatan negara dan pembangunan di berbagai sarana dan prasarana bagi masyarakat luas. Pajak digunakan pula untuk mengatur kegiatan perekonomian masyarakat, pendidikan, kesehatan, transportasi, keamanan dan sebagainya.

Zakat, Infaq, Sodakoh dan Wakaf

2.1 Pengertian Zakat
Pengertian zakat menurut bahasa adalah suci dan tumbuh dengan subur. Secara istilah berarti mengeluarkan sebagian harta benda sebagai sedekah wajib, sesuai dengan perintah Allah dengan aturan yang sudah ditentukan oleh syari’ah.
Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima’iyah yang memiliki posisi sangat penting, strategis, dan menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Oleh karena itu di dalam Al-Quran dan Hadits, banyak perintah untuk berzakat. Di dalam Al-Quran sendiri terdapat dua puluh tujuh ayat yang mensejajarkan kewajiban shalat dengan kewajiban zakat dalam berbagai kata. Di dalam Al-Quran maupun Hadits terdapat banyak pujian bagi yang melaksanakannya. Begitu pula sebaliknya terdapat juga ancaman bagi yang tidak melaksanakannya.
Dengan perkataan “hak yang telah ditentukan besarnya” (haqqun muqaddarun), berarti zakat tidak mencakup hak-hak –berupa pemberian harta– yang besarnya tidak ditentukan, misalnya hibah, hadiah, wasiat, dan wakaf. Dengan perkataan “yang wajib (dikeluarkan)” (yajibu), berarti zakat tidak mencakup hak yang sifatnya sunnah atau tathawwu’, seperti shadaqah tathawwu’ (sedekah sunnah). Sedangkan ungkapan “pada harta-harta tertentu” (fi amwaalin mu’ayyanah) berarti zakat tidak mencakup segala macam harta secara umum, melainkan hanya harta-harta tertentu yang telah ditetapkan berdasarkan nash-nash syara’ yang khusus, seperti emas, perak, onta, domba, dan sebagainya.

2.2 Pengertian Infaq
Al Jurjani dalam kitabnya At Ta’rifaat menjelaskan bahwa infaq adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan (sharful maal ilal haajah) (Al Jurjani, tt : 39). Dengan demikian, infaq mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding zakat. Dalam kategorisasinya, infak dapat diumpamakan dengan “alat transportasi” yang mencakup kereta api, mobil, bus, kapal, dan lain-lain– sedang zakat dapat diumpamakan dengan “mobil”, sebagai salah satu alat transportasi.
Maka hibah, hadiah, wasiat, wakaf, nazar (untuk membelanjakan harta), nafkah kepada keluarga, kaffarah (berupa harta) karena melanggar sumpah, melakukan zhihar, membunuh dengan sengaja, dan jima’ di siang hari bulan Ramadhan, adalah termasuk infaq. Bahkan zakat itu sendiri juga termasuk salah satu kegiatan infak. Sebab semua itu merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan pihak pemberi maupun pihak penerima.

2.3 Pengertian Shadaqah
Adapun istilah shadaqah, maknanya berkisar pada 3 (tiga) pengertian berikut ini :
Pertama, shadaqah adalah pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah, tanpa disertai imbalan (Mahmud Yunus, 1936 : 33, Wahbah Az Zuhaili, 1996 : 919). Shadaqah ini hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Karena itu, untuk membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha menggunakan istilah shadaqah tathawwu’ atau ash shadaqah an nafilah (Az Zuhaili 1996 : 916). Sedang untuk zakat, dipakai istilah ash shadaqah al mafrudhah (Az Zuhaili 1996 : 751). Namun seperti uraian Az Zuhaili (1996 : 916), hukum sunnah ini bisa menjadi haram, bila diketahui bahwa penerima shadaqah akan memanfaatkannya pada yang haram, sesuai kaidah syara’ :
“Al wasilatu ilal haram haram”
“Segala perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram pula”.
Bisa pula hukumnya menjadi wajib, misalnya untuk menolong orang yang berada dalam keadaan terpaksa (mudhthar) yang amat membutuhkan pertolongan, misalnya berupa makanan atau pakaian. Menolong mereka adalah untuk menghilangkan dharar (izalah adh dharar) yang wajib hukumnya. Jika kewajiban ini tak dapat terlaksana kecuali dengan shadaqah, maka shadaqah menjadi wajib hukumnya, sesuai kaidah syara’ :
“ Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib”
“Segala sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tak terlaksana sempurna, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya”

Dalam ‘urf (kebiasaan) para fuqaha, sebagaimana dapat dikaji dalam kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, jika disebut istilah shadaqah secara mutlak, maka yang dimaksudkan adalah shadaqah dalam arti yang pertama ini –yang hukumnya sunnah– bukan zakat.
Kedua, shadaqah adalah identik dengan zakat (Zallum, 1983 : 148). Ini merupakan makna kedua dari shadaqah, sebab dalam nash-nash syara’ terdapat lafazh “shadaqah” yang berarti zakat. Misalnya firman Allah SWT :
“Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat …” (QS At Taubah : 60)
Dalam ayat tersebut, “zakat-zakat” diungkapkan dengan lafazh “ash shadaqaat”. Begitu pula sabda Nabi SAW kepada Mu’adz bin Jabal RA ketika dia diutus Nabi ke Yaman :
“…beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim). Pada hadits di atas, kata “zakat” diungkapkan dengan kata “shadaqah”.
Berdasarkan nash-nash ini dan yang semisalnya, shadaqah merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian, penggunaan kata shadaqah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak. Artinya, untuk mengartikan shadaqah sebagai zakat, dibutuhkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kata shadaqah –dalam konteks ayat atau hadits tertentu– artinya adalah zakat yang berhukum wajib, bukan shadaqah tathawwu’ yang berhukum sunnah. Pada ayat ke-60 surat At Taubah di atas, lafazh “ash shadaqaat” diartikan sebagai zakat (yang hukumnya wajib), karena pada ujung ayat terdapat ungkapan “faridhatan minallah” (sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah). Ungkapan ini merupakan qarinah, yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan lafazh “ash shadaqaat” dalam ayat tadi, adalah zakat yang wajib, bukan shadaqah yang lain-lain.
Begitu pula pada hadits Mu’adz, kata “shadaqah” diartikan sebagai zakat, karena pada awal hadits terdapat lafazh “iftaradha” (mewajibkan/memfardhukan). Ini merupakan qarinah bahwa yang dimaksud dengan “shadaqah” pada hadits itu, adalah zakat, bukan yang lain.
Dengan demikian, kata “shadaqah” tidak dapat diartikan sebagai “zakat”, kecuali bila terdapat qarinah yang menunjukkannya.
Ketiga, shadaqah adalah sesuatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syara’). Pengertian ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam Muslim bahwa Nabi SAW bersabda : “Kullu ma’rufin shadaqah” (Setiap kebajikan, adalah shadaqah).
Berdasarkan ini, maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah shadaqah, memberi nafkah kepada keluarga adalah shadaqah, beramar ma’ruf nahi munkar adalah shadaqah, menumpahkan syahwat kepada isteri adalah shadaqah, dan tersenyum kepada sesama muslim pun adalah juga shadaqah.
Agaknya arti shadaqah yang sangat luas inilah yang dimaksudkan oleh Al Jurjani ketika beliau mendefiniskan shadaqah dalam kitabnya At Ta’rifaat. Menurut beliau, shadaqah adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari Allah SWT (Al Jurjani, tt : 132). Pemberian (al ‘athiyah) di sini dapat diartikan secara luas, baik pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang berupa suatu sikap atau perbuatan baik.

2.4 Pengertian Wakaf
Seperti yang telah diutarakan di atas bahwasanya wakaf merupakan betuk infaq. Waqf atau wakaf secara bahasa berarti berhenti, menahan atau diam.
Dari sudut pandang syariah, wakaf sering diartikan sebagai asset yang diaokasikan untuk kemanfaatan ummat dimana substansi pokoknya boleh dinikmati untuk kepentingan umum.
Pengembangan harta melalui wakaf tidak didasarkan pada target pencapaian keuntungan bagi pemodal -- baik pemerintah maupun swasta -- tetapi lebih didasarkan pada unsur kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan kerja sama. Oleh karenanya, agama menjanjikan pahala yang abadi bagi pewakaf (waqif) selama aset yang diwakafkannya masih bermanfaat bagi kepentingan orang banyak.
Wakaf mempunyai beberapa rukun, diantaranya:
Wakif : Orang yang berwakaf
Mauquf bih : benda yang diwakafkan
Nazhir : Pengeola wakaf
Mauquf ‘alaih : penerima Wakaf.
Ijab Qobul
Selain itu, secara teoritis, aset yang diwakafkan semestinya harus terus terpelihara dan berkembang. Hal itu terlihat dari adanya larangan untuk mengurangi aset yang telah diwakafkan (al-mal al-mawqif), atau membiarkannya tanpa diolah atau dimanfaatkan, apalagi untuk menjualnya. Artinya, harus ada upaya pemeliharaan, paling tidak terhadap pokok atau substansi wakaf dan terhadap daya produksinya, dan pengembangan yang terus menerus.
Dari Ibnu Umar ra. Berkata bahwa sahabat Umar ra. Mempeoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk. Umar berkata: “Ya Rasulullah saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendaptkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah menjawab: Bila kamu suka, kamu tahan pokoknya tanah itu dan kamu sedekahkan hasilnya. Kemudian Umar melakukan sedekah, tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak juga diwariskan. Berkata Ibnu Umar, Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu, Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara baik (sepantasnya) atau makan dengan maksud menumpuk harta.”