Kamis, 10 Februari 2011

Nuansa 3 Pelangi (Bagian 3)

Sebagai seorang pemuda, aku tidak kehabisan akal untuk dapat tumpangan gratis hingga ke Surabaya. Dari rumah aku telah siap dengan alat saktiku yang bisa aku gunakan untuk mencari uang plus dapat tumpangan gratis, yaitu ecek-ecek. Aneh memang namanya, nama ini diambil dari bunyi yang dihasilkan dari alat ini. Untuk membuatnya juga cukup mudah tinggal menyusun beberapa buah tutup botol yang telah di bentuk lempengan, disatukan dan di paku pada batang bambu. Dan ketika di gerakkan akan menghasilkan bunyi ecek-ecek, karena hasil tumbukan antara lempeng yang satu dengan lempeng yang lain. Dengan alat ini aku akan membawakan beberapa lagu untuk para penumpang bis. Aku tidak tahu berapa lagu yang akan aku bawakan, karena aku belum pernah tahu berapa lama bis ini akan membawaku hingga ke Surabaya.
Aku menunggu bis tepat disamping warung kopi yang buka hingga pagi hari. Cahayanya remang-remang karena hanya ada 1 lampu bertengger di atas gubuk. Cukup ramai suasana di warung kopi itu. Ada yang main catur, ada yang menonton acara TV, ada yang berbincang-bincang sambil ngobrol ada yang tidur-tiduran di kursi dan sebagainya. Lama aku perhatikan mereka, terbersit rasa iri kepada mereka. Iri mengapa mereka yang rata-rata hanya menjadi tukang ojek atau tukang becak, makan tidak tentu namun hidup mereka serasa bahagia tanpa beban. Iri dengan canda tawa mereka yang begitu lepas dan tanpa beban. Iri dengan mereka yang seakan-akan tiada beban hidup tiap hari dan iri mengapa mereka begitu bahagia dengan kemiskinan yang mendera mereka. Tanpa sadar airmataku meleleh, karena membayangkan nasib yang akan aku jalani, mengingat ini adalah perjuangan hidupku untuk merubah segalanya. Merubah nasib kedua orang tuaku, merubah nasib anak dan istriku nanti dan tentu saja merubah nasibku sendiri. Airmataku meleleh bukan karena aku takut akan kesengsaraan yang akan aku jalani, atau takut dengan kegagalan yang bisa terjadi padaku, namun yang membuat airmataku meleleh adalah bayangan kebahagiaan kedua orang tuaku nanti ketika aku pulang dan mampu mengangkat derajat mereka. Itu adalah airmata kebahagiaan, airmata harapan dan airmata kesuksesan. Karena aku akan berusaha selalu optimis, di dalam keadaan yang bagaimanapun.
***
Setelah menunggu sekitar 45 menit akhirnya bis yang aku nanti-nantikan datang. Didalam bis terlihat sangat padat oleh penumpang, ada beberapa penumpang yang berdiri ada pula beberapa penumpang yang bersandar di dekat pintu keluar bis. Mungkin ini adalah bis terakhir untuk hari ini, karena waktu telah menunjukkan pukul 22.10 wib, dan aku rasa sudah tidak ada lagi bis untuk malam ini. Bis inilah gerbang mimpiku, gerbang yang akan menunjukkan kepadaku indahnya mimpi dan kerasnya jalan yang akan aku jalani untuk meraih mimpi itu. Bagiku bis ini adalah bis harapan, harapan untuk merubah segalanya, harapan yang akan membawa mimpiku terbang jauh dan menemui kenyataan, dan memang nama bis ini adalah Harapan Jaya. Dan bis ini juga bis perubahan, perubahan dari aku yang hanya anak desa lulusan SMA akan menuju kota besar dan menantang nasib. Tanpa bekal apapun, tanpa petunjuk siapapun aku sendirian menempuh bahaya ini. Andaikan aku gagal, selamanya aku tidak akan pulang, itulah janjiku, janji yang tiap waktu selalu menghantui ku untuk selalu berusaha keras agar tidak ada kata gagal dalam pikiran dan segala tindakanku.
Bis mulai melaju membelah dinginnya malam. Dan akupun bersiap-siap untuk bernyanyi diantara kerumunan orang di dalam bis. Ini adalah pertama kalinya aku bernyanyi untuk tujuan mencari uang, sebelumnya aku memang sering bernyanyi, namun itu bernyanyi menjadi paduan suara dan koor di SMA. Sungguh ini diluar nalarku sendiri, aku sama sekali tidak tahu lagu-lagu yang pop ataupun lagu yang trend saat ini, yang aku tahu hanya lagu-lagu kebangsaan, lagu-lagu daerah dan tembang-tembang jawa yang biasa aku dengarkan di RRI. Aku baru sadar ketika di dalam bis bahwa sungguh sangat lucu ketika ada seorang pengamen membawakan lagu kebangsaan atau lagu-lagu daerah. Aku membayangkan bagaimana respon mereka terhadap laguku, apa mereka akan terenyuh atau bahkan malah tertawa terpingkal-pingkal karena tidak cocoknya situasi dan keadaan antara laguku dengan keadaan bis. Lama aku termenung membayangkan ini sambil memegang ecek-ecek di tangan, dan sudah banyak orang juga yang melihatku dengan terheran-heran, mungkin mereka tidak sabar untuk menanti aku bernyanyi untuk menghilangkan kejenuhan di dalam bis ini. Akhirnya akupun memberanikan diri, walaupun sebenarnya hal ini sangat memalukan bagiku, inilah hal gila pertama yang aku lakukan.
Indonesia..tanah airku….Tanah tumpah darahku….
Disanalah aku berdiri bagi pandu ibuku…dst.

Aku yang bersuara parau bernyanyi lagu Indonesia Raya dengan lantang tanpa malu-malu, langsung secara serempak semua orang di dalam bis melihat ke arahku, tidak terkecuali sopir bis yang tiba-tiba melambatkan laju bis untuk merekam dalam memori otaknya wajah bodohku saat itu. Hingga lagu Indonesia Raya hampir selesai suasana di dalam bis masih senyap, yang terdengar hanya bunyi mesin bis dan kendaraan lalu lalang. Tidak ada bunyi orang berbincang-bincang dan berbisik-bisik, pikirku mereka terenyuh dengan suaraku yang indah. Akupun melihat beberapa orang masih memandangku dengan wajah bodoh terheran-heran. Dan ketika lagu Indonesia Raya selesai tiba-tiba suasana berubah drastis, semua orang di dalam bis tertawa terpingkal-pingkal, tak terkecuali sopir bis dan kondekturnya. Semua orang tertawa hingga ada yang menggedor-gedor bangku dan menggedor-gedor dinding bis karena terbawa tertawaannya yang membuat sakit perut. Sungguh inilah hal gila dalam hidupku yang pernah aku alami, membuat malu diriku sendiri dihadapan semua penumpang bis, tidak hanya penumpang, sopir dan kondektur bis juga. Tapi apa mau dikata, semua sudah terjadi dan mimpiku masih terlalu besar kalau dibandingkan dengan hal gila ini. Jadi aku harus berpikiran optimis, mungkin ini cobaan pertamaku.
Tanpa pikir panjang aku bergegas menuju ke bangku terdepan dan menyodorkan tas yang aku bawa yang sudah aku buka resletingnya agar orang-orang dapat memberi sedikit rejeki mereka buatku. Ada yang memberi permen, ada yang memberi rokok, ada yang memberi uang receh ada juga yang memberi uang kertas seribuan. Mereka memberikan semua itu kepadaku tetap dalam keadaan tertawa tidak berubah. Hanya mungkin ada beberapa orang yang telah berhenti tertawa karena perutnya jadi sakit karena kebanyakan tertawa, wajahnya jadi lucu karena cengar-cengir menahan sakit di perutnya, giliran aku yang tertawa dalam hati melihat kejadian itu. Gantian, itu akibat kalau menertawai orang yang sudah susah, hahaha.
Setelah selesai meminta belas kasihan penumpang dari bangku ke bangku aku menghitung uang yang aku dapat di dekat pintu belakang sambil bersandar di pipa besi pengaman pintu. Tidak kusangka, walaupun banyak yang tertawa dengan lagu yang aku bawakan, ternyata banyak juga hasilku untuk menyanyi pertama kalinya ini. Total ada Rp 12.650, 3 batang rokok, 1 tissu, dan 9 permen. Alhamdulillah, aku bersyukur dengan hasil pertamaku ini, toh sebenarnya niat pertamaku melakukan ini adalah untuk mendapatkan tumpangan gratis hingga ke Surabaya.

Nuansa 3 Pelangi (Bagian 2)

2 tahun yang lalu setelah aku lulus dari SMA dengan nilai yang sangat memuaskan, aku berencana melanjutkan kuliah di Kota Surabaya dengan biayaku sendiri. Berbekal informasi dari seorang teman tentang Universitas-universitas favorit di Surabaya aku memberanikan diri untuk pergi ke Surabaya tanpa uang saku sedikitpun. Kepada ayah dan ibuku aku berbohong bahwa aku telah diterima di sebuah universitas negeri lewat program beasiswa dan mendapat jaminan uang saku tiap bulan. Dengan berkata seperti ini akhirnya dengan berat hati mereka rela melepas aku dan tak lupa mereka mencium keningku, dan mendoakan agar Allah selalu memberi petunjuk kepadaku. Ayah dan ibuku tidak memberi uang saku sedikitpun karena memang mereka sedang tidak ada uang, ayah belum ada garapan selama 2 minggu ini dan ibu belum gajian, jadi aku berbohong lagi kalau aku sudah siap dengan uang saku yang cukup dari hasil tabunganku, padahal aku tidak punya uang sedikitpun. Uang hasil tabungan telah habis untuk membayar biaya ujian akhir dan sebagainya. Aku sadar aku telah berbohong kepada mereka, namun aku yakin masa depanku bukan disini, bukan untuk menjadi buruh tani dan bukan juga menjadi buruh cuci, tapi masa depan ada di tempat nun jauh disana dan aku harus berani meraihnya.
Malam itu juga setelah selesai shalat Isya, aku telah siap berangkat ke Surabaya, berbekal tas sekolah waktu SMA yang berisi 2 buah kaos, 1 sarung dan sajadah, aku siap menjemput mimpiku. Dingin dan gelapnya malam tidak sedikitpun menyurutkan niatku. Untuk keluar ke jalan besar aku harus berjalan kaki menempuh jarak 10 KM dan tidak ada penerangan sedikitpun, hanya sinar bulan yang saat itu sedang purnama yang selalu menerangi jalanku. Sejujurnya ada rasa sedikit was-was dan takut melakukan perjalanan malam ini, banyak kabar kalau di jalan yang aku lalui ini sering terjadi perampokan dan pernah juga terjadi pembunuhan di jalan ini. Itu terjadi 3 tahun yang lalu dan beritanya di ekspos hingga ke Koran nasional karena korbannya adalah anggota DPR. Mungkin pembunuhan ini bermotif politik, tapi hingga saat ini kasus itu belum juga terungkap.
Hampir 2 jam telah aku lalui dan lampu-lampu jalan raya telah terlihat, senang rasanya karena horror jalan ini akan segera usai. Beberapa menit kemudian aku telah sampai di tepi jalan raya. Aku menunggu bis antar kota jurusan Semarang-Surabaya menurut informasi dari seorang teman. Sebelumnya aku tidak pernah melakukan perjalanan sejauh ini, paling jauh hanya ke kota Babat yang hanya berjarak 25 KM dari Lamongan. Ini adalah perjalanan jauhku yang pertama, ditambah dengan tanpa membawa uang sama sekali. Sungguh ini merupakan awal yang cukup berat bagiku, ada keinginan untuk kembali lagi dan berkata jujur kepada orang tua tentang semua kebohongan ini, namun dorongan untuk meraih mimpi lebih kuat dan memakan keinginan ku untuk kembali ke rumah.

Sabtu, 05 Februari 2011

Nuansa 3 Pelangi (Bagian 1)

Chapter I
Berlari Mengejar Impian
Bzzz……Bzzzz……Bzzz……
Suara bising mesin pembersih lantai membangunkan aku yang tertidur lelap pagi ini. Aku melihat arloji di tangan kananku dan telah menunjukkan pukul 4.30 pagi. Masih sangat pagi pikirku untuk bangun. Namun apa mau dikata aku harus bangun sekarang, atau banyak orang yang akan melihatku dengan perasaan aneh karena tadi malam aku tidur di kursi ruang tunggu Kuala Lumpur International Airport. Hari kemarin aku sempat kebingungan, setelah turun dari pesawat hal pertama yang aku pikirkan adalah tempat untuk tidur malam ini, karena aku bertekad tidak menginap di penginapan, toh hanya 1 malam saja. Dari Indonesia aku hanya membawa uang saku 400 uero dan 200 ringgit, sedangkan perjalananku masih jauh dan uang itu harus cukup untuk bertahan hidup selama 5 tahun di China, Negara dimana aku akan mengadu nasib disana. Uang saku itu adalah uang hasil jerih payah ku selama 1 tahun berjualan nasi uduk di perempatan jalan Ahmad Yani Surabaya tiap pagi. Untuk melayani para pembeli yang rata-rata pekerja kantoran yang tidak sempat sarapan di rumah.
Tadi malam ini aku tertidur cukup lelap, kerasnya kursi waiting room tidak menyusutkan pandangan mataku untuk tetap terpejam. Perjalanan jauh dari Surabaya ke Kuala Lumpur ternyata cukup melelahkan karena pesawat sempat delay hingga 8 jam sedangkan ini adalah pertama kalinya aku naik pesawat, sehingga sangatlah terasa lelahnya perjalanan yang hanya memakan waktu 2.5 jam ini.
Di Malaysia ini aku berencana mengunjungi kawan lama, kami dulu adalah sepasang teman dekat sewaktu duduk di bangku SMA. Sekarang dia sedang menempuh kuliah S2 nya di salah satu universitas ternama di Kuala Lumpur. Dulu kami adalah 2 orang murid terpandai di kelas, kalau semester ini dia rangking 1 semester depan giliran aku yang meraih rangking 1. Begitu seterusnya, kami saling berlomba untuk menjadi yang terbaik. Dan disaat ada olimpiade MIPA tingkat kabupaten kami berada dalam 1 tim dan berhasil merebut juara 2. Setelah itu kami lolos di tingkat Propinsi tapi sayang kami belum mendapatkan posisi 5 besar. Namun, hal itu merupakan prestasi yang membanggakan kami saat itu. Dimana kami hanya 2 orang anak desa, yang minim dengan segala fasilitas ternyata mampu masuk dalam final olimpiade MIPA tingkat propinsi. Namun itu hanya cerita indah masa lalu, sekarang aku harus bisa menghadapi kenyataan. Selepas SMA Dimas ikut dengan orang tuanya yang menjadi TKI di negeri jiran sedangkan aku terpaksa harus mengubur semua impian ku untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi lagi. Ayahku hanya buruh tani pedesaan di Lamongan sedangkan ibuku hanya seorang buruh cuci di sebuah rumah milik seorang saudagar. Hal inilah yang membuat aku tidak tega untuk meminta uang kepada mereka untuk membiayai kuliah ku di Surabaya.

Belajar membuat novel

Kali ini saya akan belajar membuat sebuah novel. Novel ini terinspirasi dari pengalaman pribadi saya. Semoga tulisan ini dapat menghibur para pembaca sekalian. Mohon saran dan kritik...

Terima kasih

Jual Jamur wilayah Surabaya-Sidoarjo-Gresik (siap antar)

Penawaran Jamur Tiram Segar ( hasil budidaya Pacet-Mojokerto)
"PLANET JAMUR"


No. Order(minimum of quantity) Harga per-Kg keterangan
1 20kg Rp10.000 pengiriman ke Surabaya
2 10kg Rp11.000 pengiriman ke Surabaya
3 5kg Rp13.000 pengiriman ke Surabaya
4 kurang dari 5kg Rp14.000 pengiriman ke Surabaya

Harga sudah termasuk ongkos kirim. Untuk pemesanan Kontinyu harga bisa nego. Info lebih lengkap hubungi Faisol: 0857 5565 8349