Sabtu, 05 Februari 2011

Nuansa 3 Pelangi (Bagian 1)

Chapter I
Berlari Mengejar Impian
Bzzz……Bzzzz……Bzzz……
Suara bising mesin pembersih lantai membangunkan aku yang tertidur lelap pagi ini. Aku melihat arloji di tangan kananku dan telah menunjukkan pukul 4.30 pagi. Masih sangat pagi pikirku untuk bangun. Namun apa mau dikata aku harus bangun sekarang, atau banyak orang yang akan melihatku dengan perasaan aneh karena tadi malam aku tidur di kursi ruang tunggu Kuala Lumpur International Airport. Hari kemarin aku sempat kebingungan, setelah turun dari pesawat hal pertama yang aku pikirkan adalah tempat untuk tidur malam ini, karena aku bertekad tidak menginap di penginapan, toh hanya 1 malam saja. Dari Indonesia aku hanya membawa uang saku 400 uero dan 200 ringgit, sedangkan perjalananku masih jauh dan uang itu harus cukup untuk bertahan hidup selama 5 tahun di China, Negara dimana aku akan mengadu nasib disana. Uang saku itu adalah uang hasil jerih payah ku selama 1 tahun berjualan nasi uduk di perempatan jalan Ahmad Yani Surabaya tiap pagi. Untuk melayani para pembeli yang rata-rata pekerja kantoran yang tidak sempat sarapan di rumah.
Tadi malam ini aku tertidur cukup lelap, kerasnya kursi waiting room tidak menyusutkan pandangan mataku untuk tetap terpejam. Perjalanan jauh dari Surabaya ke Kuala Lumpur ternyata cukup melelahkan karena pesawat sempat delay hingga 8 jam sedangkan ini adalah pertama kalinya aku naik pesawat, sehingga sangatlah terasa lelahnya perjalanan yang hanya memakan waktu 2.5 jam ini.
Di Malaysia ini aku berencana mengunjungi kawan lama, kami dulu adalah sepasang teman dekat sewaktu duduk di bangku SMA. Sekarang dia sedang menempuh kuliah S2 nya di salah satu universitas ternama di Kuala Lumpur. Dulu kami adalah 2 orang murid terpandai di kelas, kalau semester ini dia rangking 1 semester depan giliran aku yang meraih rangking 1. Begitu seterusnya, kami saling berlomba untuk menjadi yang terbaik. Dan disaat ada olimpiade MIPA tingkat kabupaten kami berada dalam 1 tim dan berhasil merebut juara 2. Setelah itu kami lolos di tingkat Propinsi tapi sayang kami belum mendapatkan posisi 5 besar. Namun, hal itu merupakan prestasi yang membanggakan kami saat itu. Dimana kami hanya 2 orang anak desa, yang minim dengan segala fasilitas ternyata mampu masuk dalam final olimpiade MIPA tingkat propinsi. Namun itu hanya cerita indah masa lalu, sekarang aku harus bisa menghadapi kenyataan. Selepas SMA Dimas ikut dengan orang tuanya yang menjadi TKI di negeri jiran sedangkan aku terpaksa harus mengubur semua impian ku untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi lagi. Ayahku hanya buruh tani pedesaan di Lamongan sedangkan ibuku hanya seorang buruh cuci di sebuah rumah milik seorang saudagar. Hal inilah yang membuat aku tidak tega untuk meminta uang kepada mereka untuk membiayai kuliah ku di Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Saya persilahkan Anda untuk meng-copy file yang ada di sini. Namun saya juga berharap Anda memberi komentar pada tulisan ini. Terimakasih