Praktik gali lubang tutup lubang untuk membiayai pembangunan semakin membenamkan Indonesia dalam perangkap hutang. Selain melakukan kebijakan hutang (baik dari dalam maupun luar negeri), ada juga alternatif pendanaan lain yang bisa digunakan oleh Pemerintah untuk membiayai pembangunan, yaitu melalui investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA). Namun seringkali tawaran investasi semacam ini (khususnya dari luar negeri) selalu punya agenda politik yang merepotkan bangsa Indonesia. Padahal, investasi yang diharapkan adalah investasi yang memang murni bisnis tanpa ada titipan agenda-agenda politik, sehingga negara tetap bisa berjalan dengan agenda strategis sendiri untuk keberlangsungan pembangunan di Indonesia.
Di dalam system keuangan Islam ada sebuah produk yang dapat mengatasi permasalahan ini, produk tersebut adalah sukuk. Sukuk adalah dari bahasa arab. Sukuk secara istilah didefinisikan sebagai surat berharga yang berisi kontrak (akad) pembiayaan berdasarkan pada prinsip syariah. Sukuk ini dikeluarkan oleh lembaga/ institusi/ organisasi baik swasta maupun pemerintah kepada investor (sukuk holder). Sukuk ini mewajibkan pihak yang mengeluarkan untuk membayar pendapatan kepada investor berupa bagi hasil, margin atau fee selama akad. Emiten wajib membayar kembali dana investasi kepada investor saat jatuh tempo. Sukuk sendiri dibagi menjadi 6 berdasarkan akadnya, 1) Sukuk Murabahah, 2) Sukuk Mudharabah, 3) Sukuk Musyarakah, 4) Sukuk Salam, 5) Sukuk Istishna dan 6) Sukuk Ijarah.
A. Kemampuan Sukuk Mendorong Perekonomian
Mengenai penerbitan sukuk global yang melambat saat ini, memang tidak terlepas dari kondisi keuangan dunia yang mengalami krisis sehingga berdampak pada masih berhati-hatinya para investor untuk menghindari risiko dampak krisis keuangan global.
Namun kehati-hatian itu merupakan sesuatu yang berlebihan dan tidak beralasan. Pasalnya, subprime mortgage yang menjadi penyebab krisis ekonomi di Amerika berbeda dengan sukuk. Subprime mortgage tidak memiliki landasan yang jelas dan memiliki turunan derivatif, sementara sukuk memiliki landasan (underlying asset) yang jelas.
Pertanyaannya sekarang adalah, mengapa sukuk dapat mendorong perekonomian? Ada beberapa alasan mengapa sukuk dapat mendorong perekonomian suatu negara.
Pertama, sukuk menjamin aliran dana yang diterima akan masuk kepada proyek-proyek investasi di sektor riil, karena akad-akad dalam keuangan syariah semuanya berbasis pada sektor riil. Hal ini berbeda dengan SUN, yang tidak ada jaminan bahwa uang yang masuk akan diinvestasikan ke sektor riil. Dengan mengalirnya dana-dana sukuk ke sektor riil maka dapat dipastikan tingkat produktivitas akan cenderung naik, dengan naiknya produktivitas maka output akan naik yang disertai dengan naiknya jumlah barang dan jasa. Dengan kenaikan jumlah barang dan jasa maka penyerapan tenaga kerja akan cenderung naik, dengan begitu PDB negara akan terkatrol naik dengan sendirinya. Dan dipastikan jika itu terjadi maka pendapatan per kapita negara juga akan naik. Dari sinilah keseimbangan ekonomi itu terjadi dan akan terjadi hubungan kesinambungan yang positif antara sektor moneter dengan sektor riil.
Kedua, sukuk dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi secara lebih baik bila dibandingkan dengan SUN, karena sukuk memberikan peluang lebih besar terhadap pembukaan lapangan kerja baru bagi masyarakat. Sedangkan SUN, sesuai dengan namanya yaitu Surat Utang Negara maka fungsi penerbitan SUN digunakan untuk menutup defisit APBN bukan untuk investasi di sektor riil. Atau dengan kata lain gali lubang tutup lubang, dan ada indikasi menggali lubang yang semakin besar karena terkena beban bunga.
Ketiga, beban utang SUN jauh lebih berat bila dibandingkan dengan beban return sukuk. Dengan menerbitkan SUN, pemerintah berkewajiban untuk membayar sejumlah bunga kepada investor yang bersifat fixed. Sementara dalam sukuk, return bagi investor sangat bergantung pada jenis akad yang digunakan.
B. Potensi Besar Sukuk Bagi Perekonomian
Ada beberapa keuntungan besar bagi Indonesia jika mau memanfaatkan potensi besar sukuk, diantaranya:
Pertama, meminimalisir angka pengangguran dan kemiskinan. Seperti yang telah diketahui bersama, jumlah angka kemiskinan di negeri ini mencapai 45,9 juta jiwa. Sementara jumlah angka pengangguran kurang lebih mencapai 11 juta orang.
Kedua, dengan diterbitkannya sukuk akan meminimalisir ketergantungan terhadap utang luar negeri yang besarnya mencapai kurang lebih Rp. 400 triliun. Ini artinya setiap bayi yang lahir akan menanggung hutang sebesar Rp. 7 juta. Sukuk akan mampu menutupi defisit APBN 2008 yang diperkirakan sebesar 2,1 % dari total anggaran.
Ketiga, meningkatkan pertumbuhan sektor keuangan syariah dan menjadikannya primadona. Sukuk akan mampu mendorong daya saing pasar modal syariah dan menjadi lebih kompetitif.
C. Tantangan Yang Dihadapi Dalam Pengembangan Sukuk
1. Belum adanya valuasi yang standar dan umum untuk sukuk korporasi
Saat ini belum ada valuasi yang standar dan umum untuk menghitung dan memprediksi sukuk korporasi, sehingga sulit untuk menganalisis terutama obligasi dengan skim mudharabah. Hal ini berbeda dengan obligasi konvensional yang berkaitan erat dengan perhitungan dan prediksi dari volatilitas suku bunga. Pada obligasi konvensional dalam teori sederhana, kenaikan suku bunga berakibat penurunan harga obligasi di pasaran dan sebaliknya. Sedangkan di syariah belum ada benchmarking yang baku dalam penentuan harga di pasar sekunder. Salah satu hal penting dalam proses valuasi obligasi syariah adalah perlu adanya pemisahan antara harga wajar dengan distorsi harga yang terjadi di pasar sekunder. Hal ini penting jangan sampai terjadi rekayasa pasar dalam supply dan rekayasa dalam demand dalam pembentukan harga obligasi di pasar sekunder. Dengan adanya valuasi yang standar ini diharapkan akan membantu memudahkan investor dalam memilih obligasi syariah yang layak untuk dimasukkan dalam portofolio investasi.
2. Iklim investasi yang buruk
Permasalahan kedua adalah buruknya iklim investasi di Indonesia:
- Pemborosan atau inefisiensi dalam pengeluaran pemerintah yang berupa penyediaan barang-barang dan jasa kebutuhan pokok bagi dunia usaha yang tidak disediakan oleh pasar, termasuk infrastruktur dasar.
- Beban yang harus ditanggung oleh pelaku bisnis karena regulasi pemerintah, dalam hal pemenuhan administrasi berkaitan dengan perizinan, pelaporan, dan sebagainya. Tingkat efisiensi birokrasi di Indonesia sangat rendah merupakan salah satu sumber distorsi iklim investasi.
- Buruknya kondisi infrastruktur di Indonesia, tidak hanya terbatas pada kuantitas yang terbatas tetapi juga dalam hal kualitas infrastruktur yang sudah ada. Aspek ini sangat menghambat kelancaran produksi dan perdagangan di dalam negeri maupun kegiatan ekspor impor. Buruknya kondisi infrastruktur merupakan yang terburuk di Asean (data Bank Dunia tahun 2005).
3. Pasar keuangan syariah di Indonesia tidak terlalu likuid. Penyebabnya adalah pangsa pasar keuangan syariah yang relatif kecil, yaitu kurang dari 5% dari seluruh sistem keuangan di Indonesia. Kecilnya pangsa pasar keuangan syariah ini diperkirakan akan menyebabkan pertumbuhan pasar sukuk domestik akan tetap terbatas.
D. Perkembangan Sukuk Global
Sukuk kini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sistem keuangan global. Pada tahun 2007, nilai sukuk yang diperdagangkan di pasar global telah meningkat lebih dari dua kali dibandingkan tahun 2006, dan mencapai US$62 miliar dibandingkan tahun 2006 sebesar US$27 miliar. Dari tahun 2001 hingga tahun 2006, Sukuk mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 123%. Berdasarkan proyeksi S&P, dalam lima tahun ke depan, pasar sukuk dapat menembus level US$100 miliar, tergantung pada kondisi stabilitas pasar kredit. Sementara itu, Moody’s memperkirakan bahwa pasar sukuk akan meningkat sebesar 35% per tahun. Pada tahun 2010, pasar sukuk global diperkirakan dapat menembus hingga US$200 miliar, terutama ditopang oleh negara-negara di kawasan Teluk, Inggris, Jepang, dan Thailand.
Pengembangan sukuk sangat didukung regulator dan pemerintah di kawasan Teluk dan Asia. Kini, semakin banyak negara yang telah menerbitkan sukuk sebagai instrumen pembiayaan. Pada tahun 2007, telah ada 10 negara yang menerbitkan sukuk, padahal pada tahun 2001 baru ada 2 negara. Uni Emirat Arab (UEA) dan Malaysia masih mempertahankan sebagai negara penerbit sukuk terbesar di dunia. Pada tahun 2007, lebih dari US$25 miliar sukuk (atau sekitar 75% dari seluruh sukuk yang diterbitkan di seluruh dunia pada tahun itu) adalah sukuk yang diterbitkan oleh UEA dan Malaysia. Sementara itu, Malaysia sendiri menguasai sekitar 66% dari seluruh penerbitan sukuk di dunia.
S&P memperkirakan Malaysia dan UEA akan tetap memegang posisinya sebagai penguasa pasar, karena ditopang oleh regulator dan status UEA sebagai pintu masuk (gateway) para investor global. Selain dukungan yang kuat dari pemerintah setempat, perkembangan pesat tersebut juga tidak terlepas dari kinerja sukuk itu sendiri. Berdasarkan data dari Dowjones terlihat bahwa di seluruh dunia indeks surat berharga yang berbasis syariah (saham dan sukuk), kinerjanya lebih baik dibandingkan indeks konvensional. Hal yang sama juga terjadi di Malaysia, sebagai negara terbesar dalam hal pangsa pasar penerbitan sukuk di dunia. (Harian Kontan: Kamis, 26 Juni 2008)
Namun perlu diketahui juga bahwa penerbitan sukuk di tahun 2008 menurun drastis. Hal ini disebabkan karena pengaruh krisis keuangan global. Meskipun penjualan sukuk tersebut menurun, namun prospek penerbitan sukuk global kedepannya masih bagus.
Nilai sukuk yang diterbitkan pada tahun 2008 mengalami penurunan hingga lebih dari 50% jika dibandingkan pada tahun 2007 yang nilainya mencapai $14,9 miliar. Meskipun volume penerbitan sukuk mengalami penurunan, namun dalam jangka panjang sukuk masih menarik sebagai alternatif bagi sebagian investor dan perusahaan penerbit sukuk. Selain itu, terdapat faktor-faktor lain mengapa prospek dari sukuk kedepannya masih bagus yaitu semakin populernya produk syariah di dunia, makin banyaknya pemerintah dari negara-negara Barat yang mulai terbuka dengan sistem syariah, dan masih banyaknya dana yang melimpah dari Timur Tengah yang menjadi daya tarik baik investor dari Barat maupun Asia.
Dalam satu dekade mendatang potensi dana Timteng yang "menganggur" akan mencapai tidak kurang dari 1 triliun dolar AS. Wajarlah jika kemudian sejumlah negara seperti Singapura dan Inggris berusaha untuk menyerap dana tersebut.
Malaysia, sebagai negara tetangga Indonesia, berusaha menjadikan dirinya sebagai Islamic financial hub di Asia Tenggara. Malaysia telah merasakan kontribusi besar industri keuangan syariah bagi pertumbuhan PDB mereka, sebagaimana yang dinyatakan oleh Menteri Keuangan Kedua Malaysia Tan Sri M Jacob yang menyampaikan data bahwa sumbangan sektor keuangan syariah mencapai 60 persen dari PDB tahun 2007 lalu. Bahkan dua per tiga sukuk dunia, telah diterbitkan di Malaysia. Ini menunjukkan bahwa sukuk pada dasarnya memiliki potensi besar untuk menggerakkan perekonomian sebuah negara (detik.com).
Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi cukup bagus bagi perkembangan ekonomi syariah. Indonesia dapat berupaya turut berpartisipasi mengambil kue dari booming-nya ekonomi syariah di berbagai belahan dunia. Apalagi dengan semakin berkembangnya institusi syariah seperti perbankan syariah, asuransi syariah, dan reksadana syariah yang semakin besar akan membutuhkan alternatif investasi berupa sukuk (obligasi Syariah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Saya persilahkan Anda untuk meng-copy file yang ada di sini. Namun saya juga berharap Anda memberi komentar pada tulisan ini. Terimakasih